Pemerintah Amerika Serikat (AS) merekomendasikan agar menjalin hubungan kerjasama dengan kelompok modernis, tradisionalis termasuk kelompok-kelompok Sufi untuk menghadang perkembangan kelompok Muslim fundamentalis yang dianggap menghambat perkembangan demokrasi.
Hal itu diungkap Direktur An Nasr Institute For Strategic Policy, Munarman dalam sebuah diskusi terbatas dengan sejumlah pimpinan ormas Islam, belum lama ini (12/1/2011) di Jakarta. Munarman merujuk data rahasia itu dari sebuah dokumen berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies,” yang dikeluarkan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga riset di AS. Dokumen itu menjabarkan sejumlah strategi untuk menghantam kelompok Islam fundamentalis.
Lebih jauh Munarman memaparkan sepak terjang Rand Corporation yang selama ini menjadi landasan pemerintah AS untuk mengkampanyekan proyek deradikalisasi terhadap sejumlah ormas Islam melalui NGO-NGO binaan AS. Pada tanggal 16 Maret 2006 misalnya, Gedung Putih menerbitkan “National Security Strategy,” sebuah dokumen yang berisi strategi keamanan nasional AS. Dokumen itu menyebutkan, ada dua pilar utama strategi keamanan nasional: Pertama, mempromosikan kebebasan, keadilan dan kemulian manusia berjuang untuk mengakhiri tirani, mempromosikan demokrasi yang efektif dan memperluas kesejahteraan melalui pasar bebas dan kebijakan pembangunan yang bijaksana.
Kedua, menghadapi berbagai tantangan dengan memimpin komunitas demokrasi yang sedang tumbuh. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah AS akan mengembangkan kebijakan dalam aspek politik, ekonomi, diplomatik dan berbagai alat lainnya yang dianggap mendukung. Bantuan asing pun digelontorkan dalam rangka mendukung kebijakan AS tersebut. Target yang ingin dicapai melalui bantuan asing ini adalah mendukung pemilu yang fair dan bebas, penegakan hukum, masyarakat sipil (civil society), hak-hak perempuan, kebebasan media serta kebebasan beragama.
Dalam dokumen strategi keamanan nasional AS, juga dibahas strategi untuk meredam ancaman dan perkembangan kelompok yang dianggap teroris dan ideologinya. Strategi ini difokuskan pada dunia Islam, seperti Yordania, Maroko serta Indonesia yang merupakan pintu masuk. Prinsip yang dikembangkan, menurut dokumen itu sebagai berikut:
“We defend the First Freedom: the right of people to believe and worship according to the dictates of their own conscience, free from the coercion of the state, the coercion of the majority, or the coercion of a minority that wants to dictate what others must believe.”
(Pertama kali, kami akan mempertahankan kebebasan: hak orang untuk percaya dan beribadah sesuai dengan keyakinannya yang bebas dari paksaan negara, paksaan mayoritas dan paksaan minoritas yang ingin mendikte keyakinan pihak lain).
Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa kedekatan aliansi dan persahabatan AS ditentukan seberapa besar negara tersebut memperjuangkan prinsip dan nilai-nilai yang diusung. Semakin intens suatu negara menghormati warganegara mereka dan berkomitmen dengan prinsip-prinsip demokrasi, maka semakin dekat suatu negara dengan AS.
Rangkul Antek-antek AS
Tahun 2007 lalu, Rand Corporation juga merilis hasil riset yang dipimpin oleh mantan atase Departemen Pertahanan AS, Angel Rabasa dengan judul: “Building Moderate Muslim Networks.” Penelitian ini bertujuan untuk membentuk model jaringan muslim moderat, khususnya di dunia Islam yang dianggap memiliki pandangan dan misi yang sejalan dengan nilai dan prinsip-prinsip AS untuk menandingi kaum fundamentalis.
Di dalam dokumen tersebut dikatakan, AS akan mendapatkan berbagai keuntungan, baik secara publik maupun privat dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal, yaitu: nilai kesamaan, toleransi, pluralisme, penegakan hukum dan HAM. Untuk mewujudkan penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal, secara khusus Departemen Luar Negeri AS bersama U.S. Agency for International Development (USAID) mendapatkan mandat spesifik untuk mempromosikan demokrasi.
Adapun yang menerjemahkan kebijakan ini dalam bentuk tindakan, Deplu AS dan USAID telah mengontrak sejumlah LSM (NGO), di antaranya National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI), Asia Foundation, and Center for the Study of Islam and Democracy (CSID). Semua LSM tersebut sepenuhnya didanai oleh pemerintah AS.
“Asia Foundation sendiri dianggap sebagai organisasi yang paling berhasil dalam menjalankan misinya, sehingga dijadikan sebagai model penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal di Timur tengah,” ungkap Munarman.
Hal menarik lainnya adalah melancarkan perang ide (the war of ideas), sebagaimana yang dilakukan AS sewaktu Perang Dingin. Perang ide ini difokuskan pada dukungannya terhadap partner beserta program kerjanya. Beberapa kalangan yang dianggap potensial sebagai partner adalah: intelektual dan akademisi muslim yang liberal dan sekuler, ulama muda yang moderat, komunitas-komunitas aktivis, kelompok-kelompok perempuan yang terlibat dalam kampanye kesetaraan, serta penulis dan jurnalis moderat.
Sebelum program kerja berjalan, pemerintah AS akan memberikan arahan terhadap NGO-NGO yang telah mendapat bantuan dana. Sebagai contoh pemerintah AS harus menjamin, bahwa partnernya telah dilibatkan pada berbagai kongres, sehingga membuat mereka lebih dikenal oleh para pembuat kebijakan.
Menurut lembaga riset Rand Corporation, radio dan televisi merupakan alat yang paling dominan yang digunakan oleh AS dalam menyebarkan isu yang hendak digulirkan. Di Timur tengah, jaringan televisi AS, Al-Hurra dan Radio As-Sawa merupakan contoh media yang menjadi corong AS. Setiap tahunnya, media yang menjadi partner AS itu, mendapat dana sebesar U$ 70 juta dollar. Pendanaan langsung seperti itu ditujukan untuk mendukung outlet-outlet media lokal dan jurnalis yang mengikuti agenda yang demokratik dan pluralistik.
Di dalam laporan Rand Corporation dipaparkan beberapa institusi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang menjadi pilar utama jaringan AS. Institusi-institusi yang terdiri dari berbagai Ormas Islam itu dijadikan TARGET garapan oleh jejaring AS di Indonesia, baik melalui aparat Pemerintah maupun aktivis LSM. Sejumlah lembaga pendidikan tinggi dan lembaga sosial yang berafiliasi dengan Ormas Islam juga menjadi tempat perekrutan bagi AS dan agennya seperti Center for the Study of Religion and Democracy, lembaga yang aktif mengkampanyekan demokrasi liberal.
Organisasi lain yang dianggap cukup mapan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didirikan pada tahun 2001 oleh Ulil Abshar. Salah satu misi dari institusi ini adalah mengcounter perkembangan pengaruh dan kegiatan kelompok militan dan radikal Islam di Indonesia.
Tak kalah penting, lembaga pendidikan dianggap sebagai kunci dalam pengembangan liberalisme, yaitu melalui pesantren dan madrasah yang banyak tersebar di Indonesia. Menurut laporan lembaga riset tersebut, sejumlah kurikulum untuk tujuan sekularisasi telah dimasukkan ke pesantren dan madrasah, meski pendidikan Islam tetap menjadi fokus pendidikan mereka.
Berbagai Universitas Islam, seperti Universitas negeri Islam (UIN) maupun berbagai Universitas yang berada di bawah naungan Ormas Islam tertentu, juga disusupi para “antek Zionis” dan “antek Amerika” ini. Kampus IAIN dan universitas-universitas Islam swasta lainnya telah dibidik untuk mengembangkan ide dan gagasan paham pluralisme dan demokrasi. Bahkan, Universitas Gajah Mada (UGM) telah membentuk Center for Religious Cross-Cultural Studies atas saran dari mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab ketika itu.
Salah satu media yang paling berpengaruh, jelas Munarman, adalah jaringan radio Islam dengan tajuk Liberal Religion and Tolerance yang dikelola oleh Kantor Berita Radio 68 H milik Goenawan Mohammad, seorang jurnalis senior yang juga pemilik majalah Tempo yang pernah mendapat penghargaan sebanyak dua kali dari Zionis Israel. Transkrip dialog radio ini telah dipublikasikan di jaringan Jawa Pos Group dan sindikatnya yang lebih dari 70 media.
Untuk kategori institusi pembangunan demokrasi, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), salah satu lembaga NU yang terlibat pada pendidikan pemilih di Jatim yang didanai oleh Asia Foundation dan Ford Foundation. Di Lakpesdam inilah orang-orang Liberal dikader dan berlindung. Badan lainnya adalah PM3, yang didirikan oleh Masdar F Mas’udi. LSM berbasis pesantren ini aktif melakukan diskusi di pesantren tentang peran negara dalam mengatur agama.
Asia Tenggara dianggap sebagai salah satu pusat pengembangan jaringan regional komunitas liberal. Salah satu pelopor organisasi regional tersebut adalah International Center for Islam and Pluralism (ICIP) – diketuai Syafi’i Anwar—yang didanai oleh Ford Foundation. Misi dari organisasi ini adalah membangun jaringan LSM Muslim dan aktivis dan intelektual muslim yang progresif di kawasan Asia Tenggara. LSM liberal ini merupakan kendaraan untuk menyebarkan ide-ide pemikir-pemikir muslim moderat dan progresif yang berskala internasional. Pada konferensi di Manila, September 2005, salah satu agenda organisasi ini adalah pelaksanaan diskusi di masing-masing negara untuk membuktikan, bahwa demokrasi sejalan dengan Islam, dan secara spesifik menunjukkan, bahwa nilai-nilai Demokrasi terdapat di dalam Al Quran.
Saat ini telah juga berdiri Moderate Muslim Society (MMS) yang dipimpin oleh Zuhairi Misrawi yang aktif melobi petinggi Negara termasuk Ketua MPR dan masuk ke menjadi pengurus Baitul Muslimin yang didirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Begitu juga keberadaan SETARA Institute yang saat ini aktif sebagai corong Rand Corp dan USAID. LSM SETARA Institute ini dimotori oleh para aktivis yang dulu aktif sebagai pendukung kemerdekaan Timor Timur melalui LSM Solidamor, yaitu Hendardi dan Bonar Tigor Naipospos.
“Inilah makar kaum Kuffar yang bersekongkol dengan golongan munafiqin lokal, yang dalam istilah para Zionis Internasional disebut sebagai OUR LOCAL FRIENDS. Umat Islam harus bangkit melawan makar ini dengan cerdik dan menyiapkan strategi jangka panjang. Wamaakaaru wamakaarallah. Wallahu khoirul maakirin,” tegas Munarman. [Desastian]