POLEMIK yang paling  tajam dan mendasar antara Islam, Kristen dan Ahmadiyah adalah perbedaan  teologi mengenai doktrin penyaliban Yesus di tiang salib.
Secara tegas, Islam mengajarkan bahwa Nabi Isa tidak mati dibunuh maupun disalib dalam Al-Qur’an surat An-Nisa 157: “wamaa qataluuhu wama shalabuuhu walakin syubbiha lahum”  (mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang  mereka bunuh ialah orang lain yang diserupakan dengan Isa bagi mereka).
Para ulama dan mufassir sejak masa  permulaan Islam sampai saat ini sepakat (ijma’) bahwa satu-satunya  maksud ayat ini adalah membantah dugaan pembunuhan dan penyaliban Nabi  Isa  AS. Orang-orang Yahudi dan Romawi gagal menangkap Nabi Isa, apalagi  membunuh dan menyalibnya, karena beliau diselamatkan Allah SWT.  Penafsiran ini diperkuat dengan ujung surat An-Nisa’ 157:
“Sesungguhnya orang-orang yang  berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam  keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan  tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka,  mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.”
Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan  fakta yang sebenarnya bahwa Nabi Isa tidak dibunuh maupun disalib.  Al-Qur'an menepis peristiwa pembunuhan dan penyaliban Nabi Isa, tapi  Al-Qur'an mengonfirmasi terjadinya pembunuhan dan penyaliban pada diri  orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.
....Berbeda dengan Islam dan Kristen, doktrin Ahmadiyah mengoplos akidah Islam dan Kristen. Mereka meyakini bahwa Nabi Isa benar-benar disalib, tapi tidak sampai mati melainkan hanya pingsan saja....
Dengan pemahaman demikian, maka Prof Dr H Mahmud Yunus dalam Tafsir Al-Qur’anul Karim menerjemahkan  ayat tersebut, “Sebenarnya Isa itu bukan mereka bunuh atau mereka  salibkan, tetapi yang mereka salib itu, adalah orang yang serupa dengan  Isa, yang telah dibuat samar” (hlm. 94).
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar  menyatakan, “Syubbiha artinya disamarkan. Yaitu diadakan orang lain,  lalu ditimbulkan sangka dalam hati orang yang hendak membunuh itu bahwa  orang lain itulah Isa” (Juz 6 hlm. 21).
Bagaimana mungkin Nabi Isa AS terbunuh  atau tersalib, padahal Allah SWT melindungi para rasul Ulul Azmi  semuanya? Allah telah menyelamatkan Nabi Nuh dari tenggelam, Nabi  Ibrahim dari Api, Nabi Musa dari Fir’aun, Nabi Isa dari Yahudi dan Nabi  Muhammad dari makar kaum musyrikin.
Berbeda dengan Islam yang menolak  mentah-mentah mitos penyaliban Yesus, umat Kristen justru menekankan  doktrin penyaliban Yesus untuk menebus dosa manusia. Kematian Yesus di  tiang salib harus diimani secara mutlak, sebagai satu-satunya syarat  keselamatan kristiani. Tanpa mengimani penyaliban Yesus, batallah iman  kristiani seseorang. Karena dalam 12 Pengakuan (Credo/Syahadat) Iman  Rasuli, penyaliban Yesus termasuk dalam pengakuan keempat: “Yang  menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dan  dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut.”
Paulus dalam Bibel membuat rumusan bahwa  dengan kematian di tiang salib, Yesus berkorban untuk menyelamatkan  dosa manusia, agar umatnya beroleh pengampunan dan hidup yang kekal.
“Ia (Yesus, pen.) sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib…” (I Petrus 2:24).
“Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita…” (I Petrus 3:18).
“…Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).
Meski penyaliban adalah inti dogma  kristiani, uniknya kronologis kisah penyaliban dalam Bibel sangat  simpang siur dan penuh kontradiktif.
Mengenai waktu penyaliban misalnya,  Injil Markus 15:25 menyatakan bahwa Yesus disalib pada jam 9. Sementara  Injil Yohanes 19:14 menceritakan bahwa pada jam 12 Yesus belum disalib,  karena baru persiapan paskah. Sementara Injil Matius dan Lukas tidak  menjelaskan jam berapa Yesus disalibkan. Jika sosok Yesus yang diyakini  sebagai penebus dosa itu hanya ada satu orang, mengapa Bibel melaporkan  dua kali waktu penyaliban? Jika Injil Markus dan Injil Yohanes diyakini  kebenarannya, mungkinkah Yesus disalib dua kali pada waktu yang  berlainan?
Doktrin Oplosan Al-Qur'an & Bibel Buatan Ahmadiyah
Berbeda dengan Islam dan Kristen, konsep  akidah Ahmadiyah tentang Nabi Isa mengoplos akidah Islam dan doktrin  Kristen. Mereka meyakini bahwa Nabi Isa benar-benar disalib, tapi tidak  sampai mati melainkan hanya pingsan saja.
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri dan nabi  kaum Ahmadi, menekankan bahwa Nabi Isa benar-benar ditangkap, disiksa  dan disalibkan tapi tidak sampai mati. Menurut nabi palsu ini, Nabi Isa  disalib hanya sampai pingsan saja, lalu melarikan diri ke kampung  Ahmadiyah di Kashmir dan meninggal di sana. Hal ini dijelaskan Syafi R  Batuah, Sekretaris Tabligh PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia berikut:
“Salah satu ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ialah yang beliau jelaskan dalam buku bahasa Urdu berjudul “Masih Hindustan Men”  (Almasih di India). Dalam buku itu, beliau menjelaskan bahwa Nabi Isa  AS tidak meninggal di atas salib tapi hanya pingsan. Setelah siuman  kembali beliau meninggalkan Palestina dan menuju daerah-daerah sebelah  timur untuk menyampaikan ajaran-ajaran beliau kepada suku-suku Israil  yang hilang. Akhirnya beliau tiba di Kashmir dan meninggal di sana dalam  umur 120 tahun. Untuk menguatkan pendirian itu, Hazrat Imam Mahdi  memberikan dalil-dalil yang diambil dari Bibel dan kitab-kitab tarikh” (Syafi R Batuah, Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir, 1970, hlm. 5).
Nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad merumuskan  doktrin bahwa Nabi Isa disalib hingga pingsan tapi tidak sampai mati.  Dalam keadaan pingsan, jasad Nabi Isa diselamatkan oleh para muridnya  kemudian hidup wajar lalu hijrah, meninggal dan dikuburkan di Srinagar,  Kashmir.
....Nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad merumuskan doktrin bahwa Nabi Isa disalib hingga pingsan, kemudian hidup wajar lalu hijrah, meninggal dan dikuburkan di Srinagar, Kashmir.
Untuk menyesuaikan ajaran Al-Qur'an  dengan akidah warisan Mirza Ghulam Ahmad tersebut, para ulama Ahmadiyah  merekayasa tafsir Al-Qur'an yang menyelelisihi penafsiran para ulama dan  mufassir yang mu’tabar. Misalnya, Maulana Muhammad Ali dalam kitab  tafsirnya yang menjadi rujukan Jemaat Ahmadiyah, mengomentari An-Nisa’  157 sebagai berikut:
“Kalimat ‘ma-shalabuhu’ ini tak  sekali-sekali mendustakan disalibnya Nabi Isa pada kayu palang; kalimat  ini hanya mendustakan wafatnya Nabi Isa pada kayu palang sebagai akibat  penyaliban…” (The Holy Qur’an Arabic Text, English Translation and Commentary, edisi Indonesia: Qur’an Suci Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta, cet. X, 2002, hlm. 259).
Penafsiran model baru ini belum pernah  dilakukan oleh para ulama dan mufassir baik di kalangan salafus shalih  maupun ulama kontemporer.
Penyimpangan terhadap terjemahan Al-Qur'an yang lebih mencolok dilakukan oleh Syafi R Batuah dalam buku Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir. Dengan lancangnya, ia menerjemahkan ayat “wamaa qataluuhu wama shalabuuhu walakin syubbiha lahum” dalam surat An-Nisa’ 157 sbb:
“…Tidaklah mereka membunuhnya (sampai mati) dan tidak pula mereka menyalibnya (sampai mati), melainkan disamarkan (keadaannya itu) kepada mereka…” (hlm 8).
Penafsiran versi kaum Ahmadi ini terdapat tahrif  (insersi/penyisipan). Nas ayatnya jelas berbunyi “wamaa qataluuhu”  (tidak membunuhnya) dan “wama shalabuhu” (tidak menyalibnya) tanpa ada  embel-embel kata apapun. Penambahan kata “sampai mati” ini di ambil  darimana kalau bukan tahrif untuk mencocokkan penafsiran  Al-Qur'an dengan doktrin nabi palsu mereka? Bukankah dalam nas Al-Qur'an  tidak ada embel-embel “hatta yamuta” (sampai mati)?
Penerjemahan batil yang dilakukan oleh  kaum Ahmadi ini menyelisihi para penerjemah dan penafsir yang mu’tabar  di Indonesia, antara lain: Prof Dr Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar), Tim Departemen Agama RI (Al-Qur'an dan Terjemanya), Prof TM Hasbi Ash-Shiddieqy (Tafsir Al-Bayan), A Hassan (Tafsir Al-Furqan), Prof Dr H Mahmud Yunus (Tafsir Qur’an Karim), Bachtiar Surin (Tafir Adz-Dzikra), H Oemar Bakri (Tafsir Rahmat), Tim Disbintalad: Drs HA Nazri Adlany, Drs H Hanafie Tamam dan Drs HA Faruq Nasution (Al-Qur'an Terjemah Indonesia), dan lain-lain.
Kehadiran Ahmadiyah dengan doktrin semi  Islam-Kristen, tidaklah menjadi penengah atas polemik Islam dan Kristen,  justru melahirkan akidah aneh hasil oplosan Al-Qur'an dan Bibel yang  diaduk dengan kitab-kitab sejarah. Tentunya, dengan melahirkan polemik  teologis baru pula.
....Ahmadiyah dengan doktrin semi Islam-Kristen, justru melahirkan akidah aneh hasil oplosan Al-Qur'an dan Bibel yang diaduk dengan kitab-kitab sejarah.Penafsiran Al-Qur'an versi kaum Ahmadi memperkeruh kontroversi teologis ....
Penafsiran Al-Qur'an versi kaum Ahmadi  ini memperkeruh kontroversi teologis, baik dengan Islam maupun Kristen.  Selain itu, penerjemahan An-Nisa’ 157 versi Ahmadi ini tergolong gharib (aneh).
Dengan keyakinan baru bahwa Nabi Isa  menderita penyaliban tapi tidak sampai mati melainkan hanya pingsan  saja, sepintas Ahmadiyah sesuai dengan doktrin Kristen. Di sisi lain,  keyakinan bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, sekilas mirip akidah  Islam. Ahmadiyah dengan Islam dan Kristen, nyaris serupa tapi tak sama:  Lebih tepatnya dengan dalil dalil-dalil Al-Qur'an yang dioplos dengan  Bibel dan buku sejarah, lahirlah doktrin “Krislam” Ahmadiyah yang aneh:  Kristen bukan, Islam pun tidak!!  [A. Ahmad Hizbullah MAG/suara-islam]
 
 
 




 
 »
                    » 
