Oleh: Ali Mustofa Akbar
Persidangan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir  sudah mulai digelar. Tentu kita mengharapkan keadilan bagi sosok ulama  kharismatik asal Ngruki ini. Jangan hanya karena tekanan dari berbagai  pihak, terutama asing dalam rangka War On Terrorism (WOT), kemudian  pengadilan kembali mendzalimi beliau.
Tentu kita masih ingat beberapa waktu  yang lalu, Amir JAT ini harus “mondok” di rutan Salemba selama 4 tahun,  cuma gara-gara soal identitas paspor. Di pengadilan, terbukti bahwa  beliau tidak terlibat dengan aktivitas terorisme. Kita juga masih ingat,  perlakuan semena-mena Densus 88 terhadapnya saat penangkapan di Banjar  Patroman, Agustus tahun lalu, padahal seyogianya tidak perlu  diperlakukan seperti itu, cukup dipanggil, beliau pasti datang. Asal  tahu saja, beliau tidak sedang dalam pelarian.
Seperti diketahui bersama, kali ini  pengasuh Ponpes Al Mukmin ini kembali dikait-kaitkan dengan aktivitas  terorisme di Indonesia. Sesuatu yang bertolak belakang dengan  pernyataan-pernyataan ulama yang terkenal begitu mukhlis ini, di mana  beliau di beberapa kesempatan mengatakan tidak sepakat dengan tindakan  ‘terorisme’ (pemboman di Indonesia, dll). Menurutnya, Indonesia sekarang  ini bukan bumi Jihad, bukan daerah konflik. Terus pertanyaannya, apa  mau mereka?
Perang Ideologi
Penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu bagian dari War on Terrorist.   Sedangkan WOT sendiri sejatinya hanyalah topeng untuk memerangi Islam,  hal ini terbukti dari beberapa fakta yang terekam di lapangan, bahwa AS  lebih banyak menginvasi ke negeri-negeri Islam, daftar teroris mayoritas  adalah umat Islam. Sangat aneh ketika Israel yang jelas-jelas melakukan  tindakan teror terhadap warga Palestina tidak dicantumkan ke daftar  teroris, sedangkan Hamas dalam mempertahankan negerinya untuk mengusir  penjajah Zionis dimasukkan dalam daftar teroris mereka. Bukti lain,  mayoritas korban adalah masyarakat Islam, mereka juga sering menggunakan  istilah; teroris Islam, militan Islam, Radikal Islam. Hal yang tidak  disematkan kepada teroris Yahudi (Israel), teroris Hindu (Macan Tamil),  bahkan kalau mereka mau jujur, mereka sangat layak menyandang gelar  teroris Kristen.
Pasca runtuhnya komunis yang dipimpin  Uni Soviet, satu-satunya ancaman terhadap dominasi Amerika Serikat  terhadap dunia dengan Ideologi kapitalismenya, otomatis hanyalah tinggal  Islam, dengan catatan Islam diterapkan sebagai sebuah Ideologi. Samuel P  hatington dalam bukunya “who are you?” mengatakan ” bagi barat, yang  menjadi musuh utama bukanlah fundamentalis Islam, tapi Islam itu  sendiri”. Sedangkan menurut mereka Ideologi Islam memiliki beberapa  kriteria, yakni seperti yang diungkap Mantan PM Inggris Tony Blair saat  kongres buruh (16/ Juli/2006). Ia menjelaskan ”Islam sebagai Ideologi  Iblis: ingin mengeliminasi Israel, menjadikan syariat sebagai sumber  hukum, menegakkan khilafah dan bertentangan dengan nilai-nilai liberal.”
Maka dari itu, untuk membendung potensi  pesaing ini, Amerika Serikat melakukan berbagai cara guna  menaggulanginya. Bermacam kebijakan mereka tempuh, salah satunya dengan  melakukan invasi militer secara langsung terhadap negeri-negeri Islam,  selain itu, mereka juga melancarkan perang pemikiran (ghazwul fikri)  secara masif sehingga terbukti lumayan ampuh membuat umat Islam sendiri  meninggalkan Ideologinya, termasuk menanamkan antek-anteknya di berbagai  negara untuk memuluskan niat jahat mereka.
Kebijakan perang fisik mereka gunakan  untuk melumpuhkan seteru-seteru Ideologi mereka dikawasan Timor tengah  dan lainnya, sedangkan kebijakan perang non fisik (perang pemikiran)  ditempuhnya di seluruh negeri Islam, baik yang diduduki secara militer  maupun tidak.
Di Indonesia, pemikiran Amerika (barat)  telah berhasil merengsek masuk ke berbagai sendi kehidupan ( ekonomi,  sosial, budaya, politik, dan seterusnya). Untuk menyukseskan upayanya  ini mereka juga menciptakan kader-kader intelektual dari tubuh kaum  Muslim itu sendiri yang telah di cuci otaknya sehingga mindset  berpikirnya pun telah berubah menjadi mindset berpikir yang bukan lagi  Islam, melainkan pro terhadap Amerika dan bahkan cenderung memusuhi  Ideologi Islam.
Saking pentingnya perang pemikiran ini,  sekretaris menteri pertahanan AS Wolfowitz merekomendasikan: ”saat ini,  kita sedang bertempur dalam perang melawan teror, perang yang akan kita  menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang  pemikiran, jelas suatu tantangan. Tetapi yang (ini) juga harus  dimenangkan”. Bermacam sarana dan prasarana mereka gunakan, di antaranya  dengan mengintervensi pendidikan, yakni mengatur kurikulum pendidikan  yang berbasis sekulerisme, termasuk kurikulum-kurikulum pesantren yang  sudah banyak digembosi melalui dana-dana bantuan yang mereka salurkan.
Stigma Teroris
Apa kaitannya penangkapan Abu Bakar Ba’asyir dengan War On Terrorism?.  Sifat setiap ideologi yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasannya,  maka ia tidak akan membiarkan apabila ada potensi Ideologi lain yang  akan merongrongnya. Jika dikolerasikan dengan Indonesia, negeri  berpenduduk muslim terbesar ini pastinya dipandang menjadi ancaman  serius terhadap Ideologi kapitalisme pimpinan Amerika apabila Ideologi  Islam bangkit di negeri ini.
Karena itu, perlu dihalangi siapa saja  baik individu maupun jamaah Islam yang jelas-jelas memperjuangkan  tegaknya Ideologi Islam. Salah satunya adalah memberikan stigma teroris  padanya agar umat menjauhinya, yang kemudian diharapkan menjauhi apa  saja yang disuarakannya.
Dalam kasus ini, kita tahu Ustadz Abu  Bakar Ba’asyir adalah sosok yang begitu lantang menyuarakan agar syariah  Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Maka  sudah sewajarnya jika pihak yang tidak senang dengan hal itu perlu untuk  menjebaknya, berusaha mengaitkannya dengan aktivitas terorisme.
Mendambakan media yang objektif
Media massa punya kontribusi besar dalam  mempengaruhi hati dan pemikiran masyarakat, kebanyakan media massa  sekarang ini mayoritas dikuasai oleh kaum sekuler dan seringkali dalam  pemberitaannya menyudutkan Islam dan kaum Muslim.
Columbus dan Wolf dalam tulisannya  (Pengantar hubungan Internasional hal.186-187) mengatakan ” salah satu  fungsi bisnis propaganda adalah memonitor, mengklasifikasi,  mengevaluasi, dan mempengaruhi media massa. Para wartawan, kolumnis,  komentator, dan pembuat opini yang dianggap bersahabat biasanya diundang  ke kedutaan besar. Pihak kedutaan besar biasanya memberikan informasi  eksklusif, bila perlu menawarkan bonus. Di negara-negara barat, peran  dinas propaganda luar negeri sangat luar besar. Hal ini mengingat opini  publik, kelompok penekan, dan media massa terlibat terus menerus untuk  mempengaruhi kebijakan sebuah negara”.
Ariel Cohen Ph.d (pengamat) juga pernah  merekomendasikan ”AS harus menyediakan dukungan kepada media lokal untuk  membeberkan contoh-contoh negatif dari aplikasi syariah)”. Sedangkan  ide-ide yang harus terus menerus diangkat ialah menjelekkan citra Islam:  perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam,  minoritas, pakaian wanita, kebolehan suami untuk memukul istri. (Cheril  Benard, Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, the Rand Corporation, halaman 1-24). Kami berharap, semoga saja media segera tersadarkan akan hal ini.
Umat Islam sudah seharusnya mengambil langkah-langkah strategis untuk meminimalisir dampak-dampak negatif dari war on teroris yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya ini.
Pula harus bersama berjuang menegakkan  dienul Islam. Amerika dan sekutunya merupakan kekuatan yang global, oleh  sebab itu harus dihadapi dengan kekuatan yang global pula. Harapan bagi  umat Islam masih ada ketika pertolongan dari Allah datang melalui  perjuangan kita dalam membentuk kekuatan yang luar biasa, yang mampu  menandingi adidaya Amerika. Apalagi kalau bukan Khilafah? Wallahu a’lam bi ash shawab.
 
 
 




 
 »
                    » 
