Antibiotik biasanya diresepkan dokter jika pasien terserang infeksi bakteri. Antibiotik berfungsi menghambat pertumbuhan atau menghancurkan kehidupan mikroorganisme, dalam hal ini adalah bakteri.
Sayangnya, tak sedikit pasien yang mengonsumsi antibiotik secara tidak tepat. Padahal, minum antibiotik sembarangan dapat memicu timbulnya resistensi terhadap kuman. Yang pada akhirnya bisa merusak kekebalan tubuh manusia.
Berbagai studi bahkan menemukan, 40-62 persen antibiotik digunkan secara tidak tepat. Bahkan saat ini antibiotik sering digunakan untuk penyakit yang tidak membutuhkan antibiotik.
Yang mengkhawatirkan, kini sudah banyak ditemukan beberapa kuman yang resisten atau kebal terhadap antibiotik. Antara lain, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant enterococci (VRE), dan Klebsiella pneumonia.
“Jika hal ini terus berlanjut, maka antibiotik tidak lagi memberi efek antibakteri yang optimal, sehingga tidak lama lagi banyak penyakit infeksi yang tidak dapat disembuhkan,” kata Dirjen Bina Kefarmsian dan Alat Kesehatan, Sri Indrawaty.
Sri menjelaskan, dari hasil penelitian Antimicrobial Resistant In Indonesia (AMRIN Study) terbukti bahwa dari 2494 individu, 43% pasien yang mengidap E. coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Sementara itu, hasil penelitian juga menemukan 781 pasien yang di rawat di rumah sakit didapatkan, 81% pengidap E. coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%) dan gentamisin (18%).
Data di negara berkembang bahkan menunjukkan bahwa 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan oralit dan antibiotik. Padahal semestinya, penyakit ini tidak membutuhkan antibiotik. Dan ironisnya, hanya 50-70 persen penderita pneumonia mendapat terapi antibiotik secara tepat.
“Perlu Anda tahu, intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dan kurang tepat bisa menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan, terutama terjadinya resistensi/kekebalan bakteri terhadap antibiotik,” katanya.
Sayangnya, tak sedikit pasien yang mengonsumsi antibiotik secara tidak tepat. Padahal, minum antibiotik sembarangan dapat memicu timbulnya resistensi terhadap kuman. Yang pada akhirnya bisa merusak kekebalan tubuh manusia.
Berbagai studi bahkan menemukan, 40-62 persen antibiotik digunkan secara tidak tepat. Bahkan saat ini antibiotik sering digunakan untuk penyakit yang tidak membutuhkan antibiotik.
Yang mengkhawatirkan, kini sudah banyak ditemukan beberapa kuman yang resisten atau kebal terhadap antibiotik. Antara lain, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant enterococci (VRE), dan Klebsiella pneumonia.
“Jika hal ini terus berlanjut, maka antibiotik tidak lagi memberi efek antibakteri yang optimal, sehingga tidak lama lagi banyak penyakit infeksi yang tidak dapat disembuhkan,” kata Dirjen Bina Kefarmsian dan Alat Kesehatan, Sri Indrawaty.
Sri menjelaskan, dari hasil penelitian Antimicrobial Resistant In Indonesia (AMRIN Study) terbukti bahwa dari 2494 individu, 43% pasien yang mengidap E. coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Sementara itu, hasil penelitian juga menemukan 781 pasien yang di rawat di rumah sakit didapatkan, 81% pengidap E. coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%) dan gentamisin (18%).
Data di negara berkembang bahkan menunjukkan bahwa 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan oralit dan antibiotik. Padahal semestinya, penyakit ini tidak membutuhkan antibiotik. Dan ironisnya, hanya 50-70 persen penderita pneumonia mendapat terapi antibiotik secara tepat.
“Perlu Anda tahu, intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dan kurang tepat bisa menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan, terutama terjadinya resistensi/kekebalan bakteri terhadap antibiotik,” katanya.