SBY tiba-tiba membatalkan dua agenda penting. Kemudian memanggil seluruh pejabat tinggi di bidang pertahanan keamanan untuk rapat. Setelah berdiskusi di ruangan tertutup, Menkopolhukam Djoko Suyanto keluar dengan wajah tegang. Di depan para wartawan Istana yang sudah menunggu, dia bilang kalau negara siaga satu. Ini berarti negara dalam keadaan genting.
Apa yang dibahas dalam rapat tertutup itu? Kasus perompak Somalia yang menyandera ABK Sinar Kudus? Bukan. Kasus “pesta seks” anak-anak di bawah umur di Palembang? Bukan. Kasus Melinda yang santer diisukan sebagai tukang cuci uang haram para pejabat? Bukan. Kasus anggota DPR yang lagi-lagi pelesiran ke luar negeri pakai uang rakyat? Bukan. Kasus bentrok rakyat sipil dengan tentara di Kebumen? Bukan. Atau kematian Franky Sahilatua gara-gara penyakit kanker? Apalagi ini, jelas bukan.
Rentetan pertanyaan akhirnya dijawab Djoko Suyanto sendiri: Negara genting siaga satu karena kasus bom.
Belakangan, memang ada sederet kasus bom. Pertama, bom dalam paket buku. Kedua, bom yang meledak di dalam masjid di Cirebon. Dan yang ketiga, penemuan ‘timer bomb’ di dekat jalur pipa gas Serpong yang menurut keterangan polisi beratnya mencapai 150 kilogram. Entah kebetulan atau tidak, jalur pipa gas ini berdekatan dengan Gereja Christ Cathedral yang akan merayakan Paskah (Jumat, 22/4). Isu yang berkembang, bom itu dialamatkan kepada jemaat gereja.
Kasus bom di Indonesia, sejak meledaknya mikro-nuke di Bali dan di depan Kedubes Australia di Jakarta—menurut temuan pakar demolisi Joe Vialls yang juga mantan SAS Inggris (belakangan Vialls dibunuh Mossad di Australia)—memang menjadi momok bagi masyarakat. Atas bantuan Washington, Densus-88 Anti Teror dibentuk sebagai pasukan kepolisian khusus untuk menangani kasus-kasus teror. Instruktur CIA, FBI, dan NSA turut serta melatih pasukan elit kepolisian selain Brimob ini.
Sejak itulah, kasus bom demi bom, pengejaran, penangkapan, dan perburuan terhadap mereka yang “diteroriskan” oleh negara, gencar terdengar. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang berhati lembut namun akidahnya lebih kuat dari baja, tiba-tiba ditangkap dan dituduh sebagai komandan teroris. Tuduhan yang tentu saja bisa membuat kucing garong ketawa karena malu.
Beberapa hari lalu, masyarakat dikejutkan oleh kasus bom bunuh diri di dalam masjid dekat dengan markas polisi Cirebon. Sejumlah orang yang pernah duduk di pemerintahan menuduh umat Islam berada di belakang kasus ini dengan menyebut macam-macam dalil, takfiriyah-lah dan lain-lain. Namun berbagai organisasi massa umat Islam menolah hal ini mentah-mentah.
“Sangat jelas, syariat Islam melarang dengan tegas, melukai apalagi membunuh siapapun tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Terlebih bila itu dilakukan saat orang-orang sedang melaksanakan ibadah shalat Jum’at di dalam masjid,” kata Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama sejumlah ormas Islam lainnya dalam jumpa pers di Kantor Pusat HTI di Crown Palace, Jl. Prof. Dr. Soepomo, Jakarta Selatan, Senin (18/4).
Sejumlah tokoh ormas Islam yang hadir, antara lain: Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Zahir Khan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DII), Firos Fauzan (Keluarga Besar PII), Ustadz Fikri Bareno (Al Ittihadiyah), Sonhadi (JAT), Amin Djamaluddin (LPPI), Mahladi (Hidayatullah), Ustadz Law Peng Kun (PITI), dan lainnya.
Penolakan yang lebih tegas dikatakan mantan ketua YLBHI, Munarman, SH: “Kasus ini aneh menurut saya. Kalau orang mendalami fiqh jihad, tidak mungkin membom Mesjid. Semilitan-militannya mujahidin, merusak mesjid dilarang. Termasuk tempat ibadah umat lain. Bisa dipastikan, ini bukan mujahidin”. Munarman juga menambahkan jika motif-motif seperti ini seperti motif intelijen.
Teror Bom Menguntungkan Kelompok Fasis
Sesungguhnya, bukan perkara sulit untuk menebak siapa yang berada di belakang aksi terorisme. Ajukan saja satu pertanyaan, “Siapa atau pihak mana yang diuntungkan dengan adanya aksi teror tersebut?”
Dalam kasus bom yang berderet-deret banyaknya di negeri ini, jelas bukan umat Islam yang diuntungkan. Umat Islam malah menjadi korban stigmaisasi yang dilakukan penguasa maupun media-media massa Islamophobia. Lantas, siapa yang diuntungkan? Tebak saja sendiri. Ini bukan perkara yang sulit kok.
Sesungguhnya, ada hal lain yang patut dicermati. Sejak peristiwa 911 terjadi, Amerika mempropagandakan terbitnya sebuah landasan legal-formal, undang-undang, yang bisa mensahkan aksi pencegahan terhadap siapa pun yang dicurigai sebagai elemen teroris. Dengan UU ini, negara bisa melakukan kegiatan mata-mata, penyadapan, dan penangkapan, terhadap siapa saja yang dicurigai sebagai teroris, walau belum ada bukti sedikit pun. Hanya dengan modal curiga, orang-orang bisa ditangkap oleh negara. Negara bukan lagi menjadi pengayom rakyatnya, namun telah menjadi monster yang menakutkan. Ini merupakan contoh kongkret negara fasis.
Pemerintah Indonesia, sudah lama hendak mengeluarkan peraturan ini. RUU Intelijen akan disahkan menjadi UU. Hanya saja, penentangan di dalam negeri cukup kuat, sehingga RUU Intelijen menjadi terkatung-katung pembahasannya. RUU Intelijen akan menjadi tidak ada urgensinya jika kondisi Indonesia tetap aman dan nyaman. Sebaliknya, jika Indonesia terus-meneus digoyang oleh aksi-aksi terorisme, maka semakin banyak aksi teror, akan semakin kuat pula perjuangan para penggagas RUU Inelijen ini untuk menggolkannya menjadi UU. Mereka ini benar-benar diuntungkan dengan aksi-aksi teror seperti ini.
Lantas, benarkah mereka yang berada di balik semua aksi teror di atas? Bisa ya, bisa tidak. Ini adalah tugas aparatur negara untuk bisa mengungkapkannya dengan jujur dan jernih. Sayangnya, pemerintah kita sudah benar-benar butek bagai air rendaman cucian anak-anak kampung sehabis main bola di tengah guyuran air hujan. Ini fakta, sehingga kita sepertinya sudah kehilangan harapan pada pemerintah negeri ini. Cepat atau lambat, jika ini dibiarkan, kaum fasis akan mengendalikan negara ini kemana pun mereka suka. Wallahu’alam. [rz]