Belasan mahasiswa di Malang, Jawa Timur menjadi korban pencucian otak kelompok yang menyebut diri sebagai Negara Islam Indonesia (NII), beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang.
Prihatin dengan kasus yang menggegerkan ini, seorang mantan korban NII, sebut saja TW menceritakan pengalamannya dirangkul kelompok gerilya ini tahun 2000 lalu.
Pria 35 tahun, warga Jalan Perak, Surabaya Utara, Jawa Timur ini mengatakan, aksi cuci otak bukan hal yang baru. Sejak tahun 2000 silam gerakan ini masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan di Surabaya dan sekitarnya.
"Saat itu saya duduk di kelas tiga SMA. Itu bermula dari ajakan teman yang mengatakan, kalau ingin mendapat banyak kenalan cewek cantik, bisa mengikuti kegiatan dan pengajian di kelompoknya," kata TW.
Janji itu terbukti, memang banyak gadis cantik yang ia temui. "Bahkan, ada teman seangkatan saya yang kemudian menikahi jamaah perempuan di kelompok itu, dan berlanjut hingga sekarang," kata dia.
Namun, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, harus memenuhi syarat mutlak: baiat. "Kalau sudah baiat, apa yang kita inginkan dikabulkan. Cukup mengatakan ke kiai, semuanya sudah beres."
Diceritakan dia, pengajian pertama yang diikutinya diselenggarakan di dilaksanakan di sebuah rumah di kawasan Jalan Rangkah Surabaya Timur. Lokasinya kemudian berpindah-pindah.
Dalam pengajian itu, TW mendapat uraian panjang tentang perlunya hijrah untuk memperbaiki keimanan, seperti yang dilakukan Rasullullah Muhammad SAW di zamannya.
Saat materi dipaparkan, dibentangkan gambar di hadapan santri. Di bagian tengah gambar ada tulisan 'Hijrah', di sebelah kirinya ada tulisan 'Mekah', dan di kanan bertuliskan 'Madinah'. "Itu dimaknai, manusia harus hijrah untuk menuju kesempurnaan keimanan," lanjutnya.
Juga ada gambar ke dua, komposisi mirip gambar pertama, bertuliskan 'NKRI' di sebelah kiri, tulisan 'Hijrah' di tengah, dan tulisan 'NII' di kanan. TW menjelaskan, gambar tersebut mengartikan semua warga Indonesia harus hijrah ke NII. "Karena, kata kiai, NKRI negara 'kafir' sangat kotor bagai tong sampah."
Dengan kondisi NKRI yang dianalogikan sebagai 'tong sampah', kiai mengatakan apa yang dilakukan warganya termasuk beribadah, salat dan haji tidak akan diterima Allah. "Percuma anda beribadah dan pergi haji dengan biaya mahal. Karena kalian tinggal di negara kafir semua itu tidak ada gunanya. Anda harus hijrah, dengan cara baiat ke Jakarta," lanjut TW, menirukan pernyataan kiai NII.
Kata dia, meski tak punya wilayah teritorial, NII memiliki sejumlah komponen pendukung yakni, presiden, menteri dan jajaran dibawahnya. "Tinggal melengkapi elemen-elemen lain yang belum ada, seperti walikota atau bupati, camat, lurah sampai RT. Temasuk tengah disiapkan untuk menambah jumlah personil tentara dan polisi (versi NII)," kata TW.
Juga diajarkan, bahwa selain membawa dosa asal, manusia juga dibebani dosa-dosa yang ia lakukan. "Pernah saya ditanya, berapa kali anda melakukan onani. Itu dosa dan harus dibersihkan. Caranya dengan 'kifarat' atau membayar denda. Kalau belum terbayar, dendanya terus berlibat dan harus terbayar saat hendak mengikuti baiat," urai TW.
Uang yang dibayarkan ke ke NII, selanjutnya dipakai untuk biaya mendukung perjuangan mewujudkan NII.
Pengikut juga dibebani infak tiap bulan, dan juga infak tahunan di tiap pergantian umur. "Kalau tidak terbayar, kita menanggung dosa sepanjang hidup dan mati kafir," tegas lelaki bertubuh tegap tersebut.
Penjelasan lain menyebut, yang tergabung di NII bebas melakukan apa saja. Bahkan, hukumnya wajib untuk menyokong terwujudnya NII menggantikan NKRI. Sekalipun merampas harta benda milik orang tua dan orang lain di luar NII. "Saya mendapat penjelasan itu hukumnya wajib guna mendorong terwujudnya NII," lanjutnya.
Dalam genggaman dan pengawasan NII, TW mengaku sempat bimbang. Hatinya berkecamuk antara yakin dan sebaliknya. Ia pun, sempat mengatakan niatnya pergi ke Jakarta untuk mengikuti baiat guna menyempurnakan keimanan sebagai warna NII. "Saya sempat bimbang, terus terngiang antara sholat tidak sah karena tinggal di negeri kafir NKRI. Dan, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya NII," urai TW.
Keberadaannya di NII saat itu, membuat gerak dan langkahnya seperti diawasi. "Saya selalu dijemput (orang-orang NII, pakai jubah putih terusan) termasuk ke rumah saat ada kegiatan yang perlu diikuti. Itu sempat menimbulkan kecurigaan orang tua. Dan saya selalu berbohong kepada orang tua," kenangnya.
Bahkan, ia mengatakan kerap mendapat ancaman. Jika khianat atau lari akan terus dicari. Dan, jika NII telah berdiri, dia akan ditangkap dan dipasung karena berkhianat. "Saya jadi semakin takut, karena saat bergabung saya juga diminta menyerahkan fotokopi KTP," terang TW.
Sebaliknya, jika mengikuti NII dan telah dibaiat dengan mengeluarkan biaya untuk ke Jakarta, ia mendapat perlakuan baik, termasuk mendapat kesempatan menduduki jabatan sesuai kecakapannya di kawasan tempat tinggalnya. TW mengatakan, saat itu ia diusulkan menjadi polisi wilayah di struktur NII. Saat itu biaya baiat mencapai Rp1 juta.
TW juga mengaku diminta merekrut orang lain. "Saya disarankan untuk mencari atau merekrut orang kaya, tapi bodoh, lemah akidah dan agamanya," kata TW.
Saat ini, meski kerap was-was apalagi dengan munculnya teror bom, TW mengaku beruntung lepas dari rangkulan NII. (eh)
Prihatin dengan kasus yang menggegerkan ini, seorang mantan korban NII, sebut saja TW menceritakan pengalamannya dirangkul kelompok gerilya ini tahun 2000 lalu.
Pria 35 tahun, warga Jalan Perak, Surabaya Utara, Jawa Timur ini mengatakan, aksi cuci otak bukan hal yang baru. Sejak tahun 2000 silam gerakan ini masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan di Surabaya dan sekitarnya.
"Saat itu saya duduk di kelas tiga SMA. Itu bermula dari ajakan teman yang mengatakan, kalau ingin mendapat banyak kenalan cewek cantik, bisa mengikuti kegiatan dan pengajian di kelompoknya," kata TW.
Janji itu terbukti, memang banyak gadis cantik yang ia temui. "Bahkan, ada teman seangkatan saya yang kemudian menikahi jamaah perempuan di kelompok itu, dan berlanjut hingga sekarang," kata dia.
Namun, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, harus memenuhi syarat mutlak: baiat. "Kalau sudah baiat, apa yang kita inginkan dikabulkan. Cukup mengatakan ke kiai, semuanya sudah beres."
Diceritakan dia, pengajian pertama yang diikutinya diselenggarakan di dilaksanakan di sebuah rumah di kawasan Jalan Rangkah Surabaya Timur. Lokasinya kemudian berpindah-pindah.
Dalam pengajian itu, TW mendapat uraian panjang tentang perlunya hijrah untuk memperbaiki keimanan, seperti yang dilakukan Rasullullah Muhammad SAW di zamannya.
Saat materi dipaparkan, dibentangkan gambar di hadapan santri. Di bagian tengah gambar ada tulisan 'Hijrah', di sebelah kirinya ada tulisan 'Mekah', dan di kanan bertuliskan 'Madinah'. "Itu dimaknai, manusia harus hijrah untuk menuju kesempurnaan keimanan," lanjutnya.
Juga ada gambar ke dua, komposisi mirip gambar pertama, bertuliskan 'NKRI' di sebelah kiri, tulisan 'Hijrah' di tengah, dan tulisan 'NII' di kanan. TW menjelaskan, gambar tersebut mengartikan semua warga Indonesia harus hijrah ke NII. "Karena, kata kiai, NKRI negara 'kafir' sangat kotor bagai tong sampah."
Dengan kondisi NKRI yang dianalogikan sebagai 'tong sampah', kiai mengatakan apa yang dilakukan warganya termasuk beribadah, salat dan haji tidak akan diterima Allah. "Percuma anda beribadah dan pergi haji dengan biaya mahal. Karena kalian tinggal di negara kafir semua itu tidak ada gunanya. Anda harus hijrah, dengan cara baiat ke Jakarta," lanjut TW, menirukan pernyataan kiai NII.
Kata dia, meski tak punya wilayah teritorial, NII memiliki sejumlah komponen pendukung yakni, presiden, menteri dan jajaran dibawahnya. "Tinggal melengkapi elemen-elemen lain yang belum ada, seperti walikota atau bupati, camat, lurah sampai RT. Temasuk tengah disiapkan untuk menambah jumlah personil tentara dan polisi (versi NII)," kata TW.
Juga diajarkan, bahwa selain membawa dosa asal, manusia juga dibebani dosa-dosa yang ia lakukan. "Pernah saya ditanya, berapa kali anda melakukan onani. Itu dosa dan harus dibersihkan. Caranya dengan 'kifarat' atau membayar denda. Kalau belum terbayar, dendanya terus berlibat dan harus terbayar saat hendak mengikuti baiat," urai TW.
Uang yang dibayarkan ke ke NII, selanjutnya dipakai untuk biaya mendukung perjuangan mewujudkan NII.
Pengikut juga dibebani infak tiap bulan, dan juga infak tahunan di tiap pergantian umur. "Kalau tidak terbayar, kita menanggung dosa sepanjang hidup dan mati kafir," tegas lelaki bertubuh tegap tersebut.
Penjelasan lain menyebut, yang tergabung di NII bebas melakukan apa saja. Bahkan, hukumnya wajib untuk menyokong terwujudnya NII menggantikan NKRI. Sekalipun merampas harta benda milik orang tua dan orang lain di luar NII. "Saya mendapat penjelasan itu hukumnya wajib guna mendorong terwujudnya NII," lanjutnya.
Dalam genggaman dan pengawasan NII, TW mengaku sempat bimbang. Hatinya berkecamuk antara yakin dan sebaliknya. Ia pun, sempat mengatakan niatnya pergi ke Jakarta untuk mengikuti baiat guna menyempurnakan keimanan sebagai warna NII. "Saya sempat bimbang, terus terngiang antara sholat tidak sah karena tinggal di negeri kafir NKRI. Dan, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya NII," urai TW.
Keberadaannya di NII saat itu, membuat gerak dan langkahnya seperti diawasi. "Saya selalu dijemput (orang-orang NII, pakai jubah putih terusan) termasuk ke rumah saat ada kegiatan yang perlu diikuti. Itu sempat menimbulkan kecurigaan orang tua. Dan saya selalu berbohong kepada orang tua," kenangnya.
Bahkan, ia mengatakan kerap mendapat ancaman. Jika khianat atau lari akan terus dicari. Dan, jika NII telah berdiri, dia akan ditangkap dan dipasung karena berkhianat. "Saya jadi semakin takut, karena saat bergabung saya juga diminta menyerahkan fotokopi KTP," terang TW.
Sebaliknya, jika mengikuti NII dan telah dibaiat dengan mengeluarkan biaya untuk ke Jakarta, ia mendapat perlakuan baik, termasuk mendapat kesempatan menduduki jabatan sesuai kecakapannya di kawasan tempat tinggalnya. TW mengatakan, saat itu ia diusulkan menjadi polisi wilayah di struktur NII. Saat itu biaya baiat mencapai Rp1 juta.
TW juga mengaku diminta merekrut orang lain. "Saya disarankan untuk mencari atau merekrut orang kaya, tapi bodoh, lemah akidah dan agamanya," kata TW.
Saat ini, meski kerap was-was apalagi dengan munculnya teror bom, TW mengaku beruntung lepas dari rangkulan NII. (eh)