Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Jawa Timur langsung bereaksi menyusul dugaan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menjadi korban jaringan Negara Islam Indonesia (NII). Kepala Bidang Humas Polda Jatim, Komisaris Besar Pol Rachmat Mulyana mengaku sudah menerima laporan adanya sejumlah mahasiswa Unair yang diduga menjadi korban NII.
"Kami sudah bentuk tim khusus untuk menelusurinya," kata Rachmat, Kamis, 28 April 2011.
Temuan di Unair ini agak berbeda dengan korban-korban lainnya yang sebelumnya dinyatakan korban cuci otak NII. Sementara, polisi berkesimpulan, jika jaringan pencucian otak berkedok NII itu sebagai tindak penipuan murni.
Modusnya, mereka merekrut mahasiswa yang kebanyakan perempuan, dengan dalih bergabung ke NII. Awalnya dengan menyatakan tindakan sehari-hari mahasiswa melenceng dari syariah. Agar bisa diterima ibadahnya, mereka harus bergabung dengan NII, lepas dari NKRI.
Selain itu, syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk bisa bergabung dengan NII adalah menyetorkan uang dalam jumlah tertentu. Nilai 'infak' yang dimaksud besarnya juga bervariasi antara Rp8 juta hingga Rp10 juta. "Tapi, kami belum mengarah pada penyelidikan penggunaan uang itu untuk perbuatan makar. Modusnya masih penipuan mirip dengan model gendam," kata Rachmat.
Kepolisian di Surabaya sendiri belum menerima aduan kehilangan orang yang terkait NII ini. Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Bidang Humas Polda Jatim, Ajun Komisaris Besar Drs. H. Suhartoyo mengatakan, pihaknya tidak mendata secara detil tentang laporan masyarakat tentang laporan kehilangan anggota keluarga.
"Laporan tersebut cenderung tidak terdata secara tertulis karena lebih kepada pengaduan," kata Suhartoyo.
Sebelumnya, 5 mahasiswa di kampus negeri ini diperiksa untuk membuktikan keterlibatannya dalam aksi cuci otak berkedok pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Dalam pemeriksaan, 5 mahasiswa Unair mengungkapkan, sempat menyetorkan sejumlah dana ke jaringan NII. Masing-masing berinisial Ay, Msh, Iw, My dan Id terindikasi menjadi korban cuci otak sindikat NII. Setelah terkumpul, dana disetorkan kepada seseorang yang berperan sebagai koordinator. (eh)
Laporan Tudji Martudji | Surabaya
"Kami sudah bentuk tim khusus untuk menelusurinya," kata Rachmat, Kamis, 28 April 2011.
Temuan di Unair ini agak berbeda dengan korban-korban lainnya yang sebelumnya dinyatakan korban cuci otak NII. Sementara, polisi berkesimpulan, jika jaringan pencucian otak berkedok NII itu sebagai tindak penipuan murni.
Modusnya, mereka merekrut mahasiswa yang kebanyakan perempuan, dengan dalih bergabung ke NII. Awalnya dengan menyatakan tindakan sehari-hari mahasiswa melenceng dari syariah. Agar bisa diterima ibadahnya, mereka harus bergabung dengan NII, lepas dari NKRI.
Selain itu, syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk bisa bergabung dengan NII adalah menyetorkan uang dalam jumlah tertentu. Nilai 'infak' yang dimaksud besarnya juga bervariasi antara Rp8 juta hingga Rp10 juta. "Tapi, kami belum mengarah pada penyelidikan penggunaan uang itu untuk perbuatan makar. Modusnya masih penipuan mirip dengan model gendam," kata Rachmat.
Kepolisian di Surabaya sendiri belum menerima aduan kehilangan orang yang terkait NII ini. Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Bidang Humas Polda Jatim, Ajun Komisaris Besar Drs. H. Suhartoyo mengatakan, pihaknya tidak mendata secara detil tentang laporan masyarakat tentang laporan kehilangan anggota keluarga.
"Laporan tersebut cenderung tidak terdata secara tertulis karena lebih kepada pengaduan," kata Suhartoyo.
Sebelumnya, 5 mahasiswa di kampus negeri ini diperiksa untuk membuktikan keterlibatannya dalam aksi cuci otak berkedok pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Dalam pemeriksaan, 5 mahasiswa Unair mengungkapkan, sempat menyetorkan sejumlah dana ke jaringan NII. Masing-masing berinisial Ay, Msh, Iw, My dan Id terindikasi menjadi korban cuci otak sindikat NII. Setelah terkumpul, dana disetorkan kepada seseorang yang berperan sebagai koordinator. (eh)
Laporan Tudji Martudji | Surabaya