Sejumlah ciri 'kejahatan luar biasa' dari korupsi menghilang dari RUU Tipikor. |
Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) versi Pemerintah. Menurut Peneliti Hukum ICW Donal Fariz, rancangan ini justru menjadi ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi.
Dia menilai sejumlah pasal dalam RUU lebih kompromis dibanding pasal di Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku saat ini. "Sehingga wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi," kata Donal di kantor ICW, Jakarta, Minggu 27 Maret 2011.
Donal mengungkapkan, setidaknya ada sembilan norma yang hilang atau melemah di RUU Tipikor dibanding UU saat ini. Pertama, hilangnya ancaman hukuman mati, kemudian hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal, menurutnya, ketentuan ancaman hukuman minimal adalah ciri 'kejahatan luar biasa' dari korupsi di Indonesia. "Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor," ujarnya.
Dalam draf revisi itu juga ditemukan melemahnya sanksi untuk mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Kemudian adanya pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korpsi. "Lantas di mana partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi," dia menambahkan.
RUU juga mengatur mengenai korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (pasal 52). Menurutnya, meskipun dalam klausul itu disebutkan pelepasan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah, hal ini tetap saja dinilai sebagai bentuk kompromi terhadap koruptor. "Apalagi korupsi tak bisa dinilai hanya dari nilai uang melainkan juga unsur jahat dan busuknya perbuatan," ujarnya.
Selain itu, kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak disebutkan secara jelas dalam RUU. Padahal di pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. "Hal ini harus dicermati agar jangan sampai menjadi celah membonsai kewenangan penuntutan KPK," jelasnya.
Doni menambahkan, melihat kondisi politik yang tak kondusif, sebenarnya revisi UU tidak tidak tepat dilakukan saat ini. "Apalagi kami menilai, di undang-undang lama tidak ada permasalahan signifikan untuk direvisi. Untuk itu kami pertanyakan ada apa ini pemerintah," ujarnya.
Dia menilai sejumlah pasal dalam RUU lebih kompromis dibanding pasal di Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku saat ini. "Sehingga wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi," kata Donal di kantor ICW, Jakarta, Minggu 27 Maret 2011.
Donal mengungkapkan, setidaknya ada sembilan norma yang hilang atau melemah di RUU Tipikor dibanding UU saat ini. Pertama, hilangnya ancaman hukuman mati, kemudian hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal, menurutnya, ketentuan ancaman hukuman minimal adalah ciri 'kejahatan luar biasa' dari korupsi di Indonesia. "Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor," ujarnya.
Dalam draf revisi itu juga ditemukan melemahnya sanksi untuk mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Kemudian adanya pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korpsi. "Lantas di mana partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi," dia menambahkan.
RUU juga mengatur mengenai korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (pasal 52). Menurutnya, meskipun dalam klausul itu disebutkan pelepasan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah, hal ini tetap saja dinilai sebagai bentuk kompromi terhadap koruptor. "Apalagi korupsi tak bisa dinilai hanya dari nilai uang melainkan juga unsur jahat dan busuknya perbuatan," ujarnya.
Selain itu, kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak disebutkan secara jelas dalam RUU. Padahal di pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. "Hal ini harus dicermati agar jangan sampai menjadi celah membonsai kewenangan penuntutan KPK," jelasnya.
Doni menambahkan, melihat kondisi politik yang tak kondusif, sebenarnya revisi UU tidak tidak tepat dilakukan saat ini. "Apalagi kami menilai, di undang-undang lama tidak ada permasalahan signifikan untuk direvisi. Untuk itu kami pertanyakan ada apa ini pemerintah," ujarnya.