DNA yang mereka bawa memang benar milik Nursam, warga Desa Aik Berik, Kecamatan Batu Kliang Utara, dan Hamdan, warga Desa Pringgarata, Lombok Tengah.
Kepala Perlindungan TKI di Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nusa Tenggara Barat, M Saleh, mengatakan bahwa kepolisian Singapura mengunjungi Kapolres Lombok Tengah pada 29 September lalu.
Kepolisian Singapura, kata dia, melaporkan bahwa dua WNI malang tersebut adalah korban tenggelamnya sebuah speed boat di perairan negara mereka. Menggunakan jalur laut sebagai moda transportasi, kata Saleh, kedua orang ini kemungkinan besar adalah WNI pekerja ilegal di Malaysia.
"Biasanya, hanya pekerja ilegal yang memakai boat. Resminya, pekerja diterbangkan pakai pesawat," jelas Saleh, Selasa 25 Oktober 2011.
Analis politik Migran Care, Wahyu Susilo, mengatakan jalur darat maupun laut lumrah digunakan para pekerja migran ilegal asal Indonesia untuk memasuki negeri jiran. Jalur ini dinilai aman, karena tidak ada pemeriksaan dokumen seperti yang terdapat di bandara-bandara internasional.
"Mereka biasanya adalah undocumented migrant worker yang termasuk ke dalam sindikat perdagangan manusia. Mereka selalu pakai jalur laut dan berlayar di malam hari. Mereka juga berlabuh di berbagai pelabuhan gelap," kata Wahyu.
Saleh menjelaskan, Nursam dan Hamdan kemungkinan tengah kabur dari majikan mereka di Malaysia untuk menuju Batam. Keduanya sebelumnya pernah terdaftar masing-masing di PT. Nusa Sinar Makmur dan PT. Anugrah Usaha Jaya. Keduanya bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit sejak 2007.
Hamdan, kata Saleh, dilaporkan kabur oleh majikannya pada sejak 20 April tahun lalu. Sedangkan Nursam adalah seorang pekerja yang sering bolak-balik Indonesia-Malaysia. Nursam, berdasarkan pengakuan keluarga, sempat kabur ke kampung halamannya pada 2007 dan kembali lagi ke Malaysia pada Februari tahun ini secara ilegal.
Menurut laporan yang diterima Saleh dari kepolisian Singapura, mereka adalah korban tenggelamnya kapal boat yang mengangkut para pekerja ilegal dari Malaysia menuju Batam. Beberapa orang dilaporkan hilang, kemungkinan besar sudah tewas.
"Perahu tersebut berpenumpang 17 orang. Sebanyak 11 orang selamat, enam orang lainnya hilang. Belakangan, dua diketahui meninggal," kata Saleh.
Jasad Terbengkalai
Dalam laporan, tidak disebutkan data-data apapun dari korban, termasuk peristiwa lainnya terkait tenggelamnya kapal naas di Selat Malaka. Menurut laporan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, dua orang asal Lombok itu sebenarnya ditemukan terdampar di pantai Singapura sekitar tanggal 11-14 Agustus 2011.
Sekretaris Pertama KBRI Singapura, Fahmi Aris, mengatakan bahwa sebenarnya ada lima jenazah yang ditemukan di pesisir Singapura, Nursam, Hamdan, dan seorang lagi bernama Rio Indarto. Dua mayat lainnya masih belum teridentifikasi. Khusus jasad Rio, langsung dikebumikan di Singapura atas permintaan keluarga. Penguburan dilakukan setelah identitas Rio dikonfirmasi kebenarannya oleh keluarga.
Dua jenazah lainnya, Nursam dan Hamdan, kendati memiliki kartu identitas, masih memerlukan tes DNA karena rupa mayat sulit dikenali akibat membengkak terpapar air laut. Inilah yang membuat proses pemulangan jenazah memakan waktu hingga dua bulan.
"Forensik ilmiah menggunakan tes DNA memerlukan waktu lama, bahkan ada yang sampai satu tahun. Pemerintah Singapura tidak akan memulangkan jenazah sebelum jelas siapa yang mengklaim dan akan dipulangkan kemana," kata Fahmi.
Selama dua bulan, polisi Singapura sibuk mondar-mandir Singapura-Lombok untuk mengambil sampel DNA yang bersangkutan. Barulah beberapa waktu lalu kepolisian Singapura berhasil memastikan identitas dua WNI tersebut.
Selama di Singapura, kata Fahmi, dua mayat itu disimpan di Singapore General Hospital dengan penanganan khusus untuk mencegah pembusukan. Ini tidak murah. Jika dipulangkan, maka keluarga WNI harus membayar upah pemulangan dan biaya tindakan selama di rumah sakit.
"Biaya dua jenazah sampai dipulangkan sekitar 15.000 dolar Singapura (Rp105 juta). Tapi untungnya dibayarkan asuransi karena dua mayat tersebut masih memiliki kartu asuransi proteksi yang berlaku sampai 2012," kata Fahmi.
Selat Malaka
Hamdan dan Nursam bukanlah yang pertama meregang nyawa di perairan yang menghubungkan Malaysia-Singapura-Indonesia. Dilaporkan, jalur ini ramai digunakan oleh para imigran gelap. Tak jarang mereka menemui ajal akibat perlengkapan yang tidak memadai.
"Baru kemarin, kami menerima laporan dari kepolisian pantai Singapura ditemukan lagi dua WNI warga Batam. Tubuh mereka rusak, perlu tes DNA," kata Fahmi.
Wahyu Susilo mengatakan tiap tahunnya, ada saja pekerja ilegal yang mencoba masuk melalui jalur ini. Selain itu, mereka juga harus main kucing-kucingan dengan patroli laut Indonesia maupun Malaysia. "Kalau patroli bisa disuap, mereka bisa lolos. Kalau tidak akan dikejar dan ditangkap," kata Wahyu.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI, Hartind Asrin, mengatakan jalur sepanjang 500 km yang menghubungkan pulau Batam dengan Johor Baru dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Dia mengatakan, para pekerja ilegal melintas pada waktu malam, menyulitkan patroli menghadang.
"Patroli itu ada jam-jam khusus, kalau malam proses deteksi agak kurang. Namun, sekarang sudah lebih baik, berkat sembilan radar yang dipasang sepanjang Sumatra," kata Asrin.
Menurut data Kementerian Luar Negeri per Februari 2011, TKI informal atau yang tidak terdaftar di Malaysia mencapai jumlah 202.146 orang. Sedangkan TKI formal atau terdaftar mencapai 926.111. Terbanyak TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga, terbanyak kedua bekerja di ladang.
source