Jakarta - Kisah Sumiati salah seorang pengadu nasib di Arab Saudi adalah cerita penderitaan TKI yang untuk kesekian kalinya terulang. Wanita asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu disiksa majikannya di Madinah, Arab Saudi.
Bibirnya tak berbentuk lagi, sebagian hilang karena digunting. Penderitaan Sumiati memang sangat pedih. Meskipun, kalau mau dihitung-hitung telah banyak TKI yang seperti dia bernasib sama bahkan lebih parah daripada dirinya di negara yang kaya minyak itu.
Nasib malang yang dialami Sumiati di Arab Saudi langsung menjadi pembicaraan serius pemerintah Indonesia. Presiden SBY membentuk dan memerintahkan sebuah tim khusus ke Arab Saudi.
Tim ini bertugas untuk memastikan bahwa proses hukum penyiksaan terhadap Sumiati ditegakkan dan korban mendapatkan perlindungan dan pengobatan terbaik. SBY berjanji akan mengoptimalisasi semua jenis diplomasi agar mendapatkan penyelesaian yang baik terhadap kasus ini.
Perintah SBY langsung dituruti Menlu Marty Natalegawa. Sesaat setelah pernyataan Presiden, Menlu Marty langsung memanggil Duta Besar Arab Saudi di Indonesia, Abdurrahman M Amen, untuk meminta penjelasan kasus ini.
Dalam pertemuan kedua pihak, pemerintah Arab Saudi berjanji akan memproses kasus ini hingga tuntas. Sejauh ini, pemerintah Arab Saudi juga mengaku telah mengamankan Sumiati ke rumah sakit.
Setelah menjalani pengobatan di rumah sakit rencananya Sumiati akan dipulangkan ke tanah air. Namun, pengobatan dan pemulangan Sumiati tidaklah cukup.
Reaksi atas tragedi itu tentu bukan sebatas penyelesaian kasus Sumiati. Lebih dari itu, publik telah lama menanti langkah konkret pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus serupa.
Pencegahan jadi masalah utama lantaran telah terbukti berakali-kali pemerintah gagal melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Tragedi yang menerpa Sumiati juga pernah dialami Siti Hajar dan Nirmala Bonat.
Publik juga pernah berfikir jika kekerasan terhadap TKI bisa berakhir setelah terbit Undang-Undang No. 39/2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Namun, faktanya undang-undang itu tak bisa mengayomi pekerja kita di luar negeri.
Itu sebabnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mendesak pemerintah mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap TKI bisa berakhir.
"Meski upaya pemerintah untuk mengembalikan Sumiati perlu diapresiasi, namun pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap para tenaga kerja Indonesia (TKI) diakhiri," katanya.
Paling tidak ada tiga langkah fundamental dan strategis, pertama perwakilan Indonesia di luar negeri yang menjadi tujuan para TKI harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tidak manusiawi para majikan yang melakukan penganiayaan, bahkan berujung pada kematian. Pemantauan sangat penting agar penganiayaan mendapat ganjaran dan menjadi efek pencegah bagi para majikan lain.
Kedua, pemerintah harus secara serius menangani Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim TKI. PJTKI harus dipastikan tidak mengirim tenaga kerja seadanya karena tenaga kerja demikian berpotensi untuk dianiaya sebagai akibat dari kekesalan majikan.
Ketiga, pemerintah harus mampu menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima para TKI. Perjanjian bilateral ini mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya. Jika hal itu tidak dilakukan, kekerasan bukan tak mungkin kembali datang. (red)
Bibirnya tak berbentuk lagi, sebagian hilang karena digunting. Penderitaan Sumiati memang sangat pedih. Meskipun, kalau mau dihitung-hitung telah banyak TKI yang seperti dia bernasib sama bahkan lebih parah daripada dirinya di negara yang kaya minyak itu.
Nasib malang yang dialami Sumiati di Arab Saudi langsung menjadi pembicaraan serius pemerintah Indonesia. Presiden SBY membentuk dan memerintahkan sebuah tim khusus ke Arab Saudi.
Tim ini bertugas untuk memastikan bahwa proses hukum penyiksaan terhadap Sumiati ditegakkan dan korban mendapatkan perlindungan dan pengobatan terbaik. SBY berjanji akan mengoptimalisasi semua jenis diplomasi agar mendapatkan penyelesaian yang baik terhadap kasus ini.
Perintah SBY langsung dituruti Menlu Marty Natalegawa. Sesaat setelah pernyataan Presiden, Menlu Marty langsung memanggil Duta Besar Arab Saudi di Indonesia, Abdurrahman M Amen, untuk meminta penjelasan kasus ini.
Dalam pertemuan kedua pihak, pemerintah Arab Saudi berjanji akan memproses kasus ini hingga tuntas. Sejauh ini, pemerintah Arab Saudi juga mengaku telah mengamankan Sumiati ke rumah sakit.
Setelah menjalani pengobatan di rumah sakit rencananya Sumiati akan dipulangkan ke tanah air. Namun, pengobatan dan pemulangan Sumiati tidaklah cukup.
Reaksi atas tragedi itu tentu bukan sebatas penyelesaian kasus Sumiati. Lebih dari itu, publik telah lama menanti langkah konkret pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus serupa.
Pencegahan jadi masalah utama lantaran telah terbukti berakali-kali pemerintah gagal melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Tragedi yang menerpa Sumiati juga pernah dialami Siti Hajar dan Nirmala Bonat.
Publik juga pernah berfikir jika kekerasan terhadap TKI bisa berakhir setelah terbit Undang-Undang No. 39/2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Namun, faktanya undang-undang itu tak bisa mengayomi pekerja kita di luar negeri.
Itu sebabnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mendesak pemerintah mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap TKI bisa berakhir.
"Meski upaya pemerintah untuk mengembalikan Sumiati perlu diapresiasi, namun pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap para tenaga kerja Indonesia (TKI) diakhiri," katanya.
Paling tidak ada tiga langkah fundamental dan strategis, pertama perwakilan Indonesia di luar negeri yang menjadi tujuan para TKI harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tidak manusiawi para majikan yang melakukan penganiayaan, bahkan berujung pada kematian. Pemantauan sangat penting agar penganiayaan mendapat ganjaran dan menjadi efek pencegah bagi para majikan lain.
Kedua, pemerintah harus secara serius menangani Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim TKI. PJTKI harus dipastikan tidak mengirim tenaga kerja seadanya karena tenaga kerja demikian berpotensi untuk dianiaya sebagai akibat dari kekesalan majikan.
Ketiga, pemerintah harus mampu menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima para TKI. Perjanjian bilateral ini mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya. Jika hal itu tidak dilakukan, kekerasan bukan tak mungkin kembali datang. (red)