Delete this element to display blogger navbar

Makna Keamanan Yang Terasingkan: Diskriminasi Antara Tragedi Sukoharjo dan Pengibaran Bendera Zionis

Menarik, itulah kata yang pas dilekatkan terhadap sekelompok warga Timika Papua. Tidak perlu repot mengatur perizinan seperti Unggun Dahana, sekelompok warga mampu mengibarkan bendera Zionis Israel, Jum’at, 13/05/2011, di Timika Papua.
Hebatnya, HUT Zionis Israel itu terjadi di depan mata Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, yang tengah melakukan kunjungan anggota di Timika, Papua. Ya, dua institusi yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan Negara. Dua Institusi yang biasanya paling cepat menafsirkan kata subversif bagi Umat Muslim.
Adakah aksi pembubaran dan sikap represif Densus untuk menghalaunya? Tidak ada sama sekali. Anda bandingkan dengan sikap yang diterima dua saudara kita, Sigit dan Hendra, yang langsung ditembak mati walau belum ada bukti. Ironis
Sikap Diskriminatif Polri: Antitesis "Kehanifan" Anton Bahcrul Alam
Mabes Polri menampik bahwa Izin atau Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari kepolisian tidak ada, karena memang warga Jayapura yang berpawai keliling kota sembari mengibarkan bendera Israel sebelumnya tidak melaporkan kegiatannya ke kepolisian setempat.
Namun memang sekalipun aksi subversif itu sudah membentang di depan mata, toh juga tidak ada tindakan tegas bagi pengibar bendera itu. Mungkin dalam pikiran sekelompok warga Timika tersebut: Apalah daya melapor, jika nanti malah bermasalah. Lagi pula alangkah konyolnya jika ada orang ingin melakukan aksi subversif harus melapor ke institusi yang akan berlawanan dengan mereka. Itu sama saja dengan cari mati.
Polri pun melakukan upaya persuasif terhadap warga Timika. Menurut Kabid Penum, Boy Rafli Amar, upaya tersebut dilakukan untuk menghindari konflik antara Polisi dan warga. Namun entah mengapa pada kasus Sukoharjo, tidak ada upaya persuasif terhadap korban, apalagi klarifikasi. Tidak ada sikap baik-baik untuk menghindari konflik, yang terjadi adalah: tembak ditempat, hidup maupun mati. Sigit dan Hendra dua orang yang aktif memberantas maksiat di Kota Solo itu akhirnya meregang nyawa tanpa sempat mengklarifikasi tuduhan Polri terhadap mereka.
undefined
Pertanyaannya adalah kenapa perlakuan aparat keamanan menjadi begitu berbeda jika umat Islam yang melakoninya? Kenapa umat Islam yang mengibarkan panji Islam langsung dicap teroris, bengis, tak pancasilais, dan tuduhan lainnya yang tidak putus-putus.
Kenapa Umat Islam yang menyarakan perlawanan terhadap imperialisme Barat justru dituduh merancanakan aksi makar dan membahayakan NKRI? Padahal orang seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, menurut pandangan penulis, adalah orang yang sangat “nasionalis” sekali karena dengan jerih upayanya mencoba menyelamatkan Indonesia dari murka Allah.
Kita juga bisa bandingkan aksi Ben Ketang yang (akhirnya) melaksanakan hari jadi Zionis Israel di Puncak, Sabtu, 14/05/2011. Apakah Ketang kemudian ditangkap dan diintegorasi layaknya teroris: “Siapa otak dibelakang anda? Darimana aliran dana anda? Dengan siapa anda bergerak?”
Dengan memakai logika Polri, apakah orang semacam Ketang ini juga tidak mengganggu kedaulatan NKRI? Padahal kita harus ingat, Zionis “laknatullah” Israel sendiri adalah negeri penjajah yang berlawanan dengan semangat preambule UUD 1945.
Namun, keadaannya kini berbalik, ya tepat saat Ben Ketang berduka cita di Puncak, saat bendera zionis Israel dikibarkan di Papua, di Sukoharjo, Solo, dua umat muslim yang (langsung) dituduh perusak telah meregang nyawa. Sigit dan Hendra ditembak saat ingin melaksanakan Shalat Shubuh: sebuah Ibadah yang justru dijamin oleh undang-undang yang mereka buat sendiri! (inilah.com/14/05/2011). Ironis.
Oleh karenanya, bagi penulis, alangkah naifnya hukum buatan manusia itu. Stigma ancaman bagi NKRI hanya menjadi paten bagi umat Islam, namun menjadi fleksibel bagi umat lainnya. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, Anton Bachrul Alam, selaku Kadiv humas Mabes Pori yang dikenal sebagai seorang muslim taat, soleh, hanif, sampai-sampai mengucapkan “Alhamdulillah” ketika saudara seIslamnya tewas ditembus timah panas Densus. (Konfrensi Pers, Minggu/15/05/2011). Naudzubillah min dzalik.
Padahal Allah jelas mengatakan bahwa tiap muslim adalah bersaudara, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (Al-Hujurat: 10). Solidaritas Islam juga tidak mengenal jabatan, kuasa, nasab, dan tanah air. Islam disatukan antara sesama manusia yang berikrar dalam rangka menyembah Allah semata. Islam tidak mendahulukan “perintah atasan” dengan menafikan perintah Tuhan. Terlebih jika berbicara nyawa saudara seimannya.
Pertanyaannya adalah, apakah almarhum Sigit dan Hendra lebih bejat ketimbang koruptor, Gayus, Robert Tantular hingga harus dibunuh dengan keji di tengah istri dan keluarga. Apakah Sigit dan Hendra lebih bejat dari Ariel dan Luna Maya yang jelas-jelas merusak moral bangsa?
Apakah Sigit dan Hendra tidak punya rasa malu daripada Briptu Noorman yang jelas-jelas berciuman dengan bukan mahramnya? Apakah itu dilakukan Densus hanya karena Sigit dan Hendra tidak memakai Korps Bhayangkara di dadanya dan bertasbih hanya Allah yang ada dihatinya?
Padahal Allah jelas-jelas mengharamkan penghilangan nyawa seorang yang tak berdosa.
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar." (QS. Al-An'am:151).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan! Kemudian ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara tersebut?” Maka beliau menyebutkan di antaranya adalah, "Menyekutukan Allah, sihir dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. al-Furqan: 68-70).
Lantas apakah arti bacaan Qur’an yang Anton Bachrul Alam serukan kepada para bawahannya saat menjadi Kapolda Jawa Timur? Sungguh penulis khawatir inikah yang pernah disinyalir oleh Ahmad Thompson, dalam bukunya Sistem Dajjal dimana hanya ada dua pilihan bagi seorang muslim yang duduk di sebuah lembaga dimana sistem Hukum Allah dinafikan: keluar, karena sistem itu tidak compatible dengan dirinya yang mengusung ideologi Islam, atau secara perlahan beradaptasi dengan sistem sekular karena tak tahan godaan!
Kita tentu berharap Anton Bahrul Alam tidak masuk ke golongan kedua. Maka itu, pas-lah hadis Rasulullah SAW untuk menjadi renungan bagi beliau dan umat muslim yang ada di lembaga hukum buatan manusia yang tengah menjalani fitnah berupa jabatan.
"Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia." (HR. Ahmad No. 8493)
Untuk Sigit Tidak Perlu Klarifikasi, Tapi Untuk Ben Ketang Perlu
Memang Mabes Polri merilis video tentang pelatihan Sigit dan Kawan-kawan, namun dengan track record rekayasa yang kerap dibuat Polri, tentu umat sudah muak dan tidak lagi percaya atas kandungan kebenaran terhadap berita yang dibawanya. Tidak hanya disudutkan dengan terorisme, tragedi Sukoharjo pun penuh dengan pembunuhan karakter. Ia tak ubahnya sinetron-sinetron yang pernah diproduseri Densus sebelumnya: dilakukan saat hari libur, diceritakan keluarga pelaku tertutup, dan segenap tuduhan ganjil bernuansa personal.
Perihal, dua pucuk senjata laras panjang yang dibawa Densus dalam penggeledahan paksa di rumah orang tua Sigit di Kampung Brondongan, Kelurahan Serengan, ternyata hanyalah senapan angin. Senapan itu adalah milik Winarto, ayah Sigit, yang digunakan untuk berburu burung.
Sigit juga difitnah menyimpan bubuk hitam sebagai mesiu. Padahal serbuk hitam yang juga diambil dari rumah tersebut juga bukan bahan bom, tapi hanyalah bubuk untuk hiasan atau paesan pengantin.
Tidak hanya itu, Sigit pun difitnah menyukai film Porno dengan mengacu kepada kepingan VCD porno yang ditemukan di kamar almarhum. Padahal setelah dicek lebih jauh, VCD porno itu adalah milik sang adik yang sengaja disembunyikan sang ayah agar tak dilihat adik Sigit. Tapi, saat penggeledahan, barang itu ikut dibawa Densus dan dinyatakan sebagai VCD sitaan milik Sigit. Astaghfirullah Al Adzim.

Apakah ini kemudian ini dijelaskan dan diklarifikasi lebih jauh oleh Polri? Tentu tidak. Hal ini menjadi berbeda dengan kasus Ben Ketang yang melaksanakan HUT Zionis Israel di Puncak. Polri, saat diwakili oleh Anton Bachrul Alam, justru menunggu klarifikasi dan laporan terdahulu. "Kita belum ada laporan. Kita masih mengecek dan mencari panitianya," kata Anton Bachrul Alam saat dihubungi detikcom, Senin (16/5/2011).
Lalu bagaimana jika acaranya sudah berlangsung? "Nanti kita cek dulu (apa benar ada atau tidak)," kilah Anton. Apakah akan dipanggil pihak penyelenggara? "Tentu kita lihat dulu. Nanti kita lihat apakah ada pasal pelanggarannya," tambah lulusan Akpol 1980 ini.
Kita bisa bayangkan sikap berbeda Polri terhadap almarhum Sigit dan Hendra. Tidak perlu menunggi izin, Densus dengan cepat bergerak. Tidak perlu ada laporan, rumah dengan cepat disambangi. Sigit dan Hendra langsung “ditembak” ingin merencanakan aksi peledakan di kantor Mabes Polri.
Fase Mulkan Jabariyan dan Makna Keamanan Yang Terasingkan
Menurut, Syaikh Dr Muhammad Musa Alu Nashr, stabilitas keamanan dalam Islam sangat erat hubungannya dengan keimanan. Ketika keimanan lenyap, niscaya keamanan akan tergoncang. Dua unsur ini saling mendukung, karena itu Allah berfirman. "Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk" [Al-An'am : 82]
Namun ditengah fase Mulkan Jabariyan yang tengah kita geluti ini, makna keamanan hakiki sudah menjadi kabur. Aman dalam versi Islam belum tentu aman dalam timbangan sekularisme. Negara dengan sistem penghambaan terhadap demokrasi, melihat terkikisnya Iman bukan sebagai hal yang mengancam. Ia juga tidak terusik ketika kemaksiatan dan musuh-musuh Islam mulai merajalela.
Makanya ketika ada segolongan umat menyeru pemberlakuan Islam secara kaffah akan dinilai masyrakat sebagai hal yang berbahaya menjurus aneh. Istilah aman yang dibawa umat muslim justru sangat asing bagi masyarakat yang terinflitrasi millah "Mulkan Jabariyan". Inilah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW
Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing.” (HR Muslim).
Selanjutnya, aman dalam versi negara dimana tidak tegaknya hukum Allah hanya dilihat dari nominal sandang, papan, pangan, dan yang lebih utama pesanan Negara paman sam, Amerika, berupa stabilitasnya iklim demokrasi di Negara itu.
Makanya, televisi-televisi di Negara sekular akan sangat bernafsu menyiarkan pergelaran pemilihan umum maupun pilkada sebagai jalan baru meretas kehidupan baru. Mereka juga akan panik sekali jika ekonomi keuangan dunia terguncang sampai-sampai tak jarang kita mendengar ucapan daripada masyarakat: yang penting masyarakat bisa makan, masa bodoh dengan sistemnya.
Inilah yang pernah disinyalir Muhammad Quthb dalam bukunya “Ma’rakaah At Taqaaliid” sebagai benturan peradaban yang menghancurkan Islam. Pasca runtuhnya Khilafah dan lenyapnya ideologi Iman, Umat Islam terputus pada akar ajarannya. Ia mencari-cari millah baru dan dan norma baru yang sengaja ditampilkan Imperialisme Barat untuk menipu. Menurut Muhammad Quthb, umat Islam baru kemudian akan terbangun dari lelapnya ketika ia sadar telah terjajah oleh kekuatan asing.
Namun persoalannya, seperti juga disinyalir Muhammad Quthb, takni apakah Umat muslim akan sadar bahwa mereka sedang diombang ambilng oleh kepalsuan? Dan mau sadar untuk berubah?
“Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya.” Para sahabat lantas bertanya, "Apakah yang anda maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Siapa lagi (kalau bukan mereka)?" (HR Bukhary). (pz)

share on facebook

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
Design by Kumpul Berita