Delete this element to display blogger navbar

Tuhan Baru Sang Bajingan

Jakarta - Ketika melihat presiden dan para gubernur ramai-ramai meneriakkan ‘antikorupsi’ di televisi, ada celetukan bernada sarkasme. Orang Indonesia itu memang kompak. Kebersamaannya patut dipuji. Satu korupsi semuanya serempak korupsi. Dan jika ‘bapaknya’ berteriak antikorupsi, gemuruh deklarasi anti korupsi pun membahana se-Nusantara. Kita memang gampang mufakat. Mufakat untuk berbuat baik dan mufakat melakukan kejelekan.

Namun benarkah ‘permufakatan kebaikan’ yang diteriakkan secara koor itu akan sertamerta menghilangkan tindak korupsi? Rasanya jauh panggang dari api. Korupsi masih akan laten terjadi. Sogok dan suap jadi roda kehidupan. Dan upeti dalam bentuk ‘uang jasa’ serta komisi rutin direalisasi.

Mengapa pesimisme itu menggelayuti hati di tengah gempitanya perang melawan korupsi? Itu lebih karena kenyataan, budaya bangsa ini telah hancur binasa. Persepsi nilai luhur telah jauh bergeser. Dari ‘budaya budi’ yang menekankan keluhuran, kejujuran dan sikap amanah, berubah menjadi ‘budaya materi’ yang mempersepsi harga diri dan gengsi ‘bisa dibeli’.

Di zaman ini memang hampir tidak ada lagi orang yang bangga dengan kemiskinan karena kejujuran dan ketulusan. Dan tidak ada pula yang punya keberanian untuk menolak rezeki yang bukan haknya. Semuanya berlomba dalam semangat ‘sepi ing gawe rame ing pamrih’. Berebut harta melalui cara apa saja. Pameo manusia mati meninggalkan nama dianggap telah usang dan tergantikan dengan ‘manusia mati mewariskan kekayaan’.

Banyaknya ‘kere munggah bale’, orang kaya mendadak dianggap lumrah. Tak disoal kekayaan itu hasil ‘tisani’, tipu sana tipu sini. Malah melacurkan diri demi harta atau ‘makan’ teman sendiri dan korupsi dikonotasikan cerdas. Bangga sebagai bajingan itu terjadi karena kearifan leluhur serta harga diri sebagai bangsa yang beradab sudah sirna.

Simak saja para koruptor yang masuk bui. Mereka terlihat begitu tenang dan berwibawa. Tidak ada rasa risih dan malu ketika diajak bicara kesibukannya di penjara. Juga tidak terlihat beban tatkala tertangkap tangan atau mereview tindak bejatnya di kala rekonstruksi. Itu yang membuat kaya hasil simsalabim jadi trend, yang celakanya jadi mimpi-mimpi mayoritas warga negeri ini.

Kabar pejabat baru mencari kesempatan sudah umum. Cari peluang untuk melakukan ‘tindak tak terpuji’ tidak tabu lagi. Itu karena harta telah menjadi ‘tuhan baru’ yang menjanjikan tahta dan gengsi. Tanda, bahwa cengkeraman virus dekaden telah bersimaharaja melumat bangsa ini.

Kebiasaan buruk yang telah mentradisi itu juga mengubah pandangan masyarakat terhadap nilai keberhasilan atau kegagalan seseorang. Yang masih lurus dan amanah tidak diapresiasi. Jika ada orang yang miskin akibat sikapnya itu, bukan tabik hormat yang diterima, tapi rasa iba dan sinisme. “Kasihan dia, karena jujur tetap miskin dan nggak punya apa-apa sampai pensiun.” Betapa tragisnya, kejujuran telah dianggap sebagai aib. Sikap yang menjijikkan !

Jika sudah seperti itu pandangan ideal hidup dan melakoni hidup sebagian warga negeri ini, adakah bisa ‘disembuhkan’ secara instan? Seberapa kuat teriakan antikorupsi mampu memberikan penyadaran?

Saat ini ditaksir sudah satu atau dua generasi yang terjangkit virus korupsi. ‘Membuang’ semuanya tak mungkin. Langkah penyelamatan adalah amputasi. Memotong bagian yang sudah terinfeksi. Hukuman mati merupakan pilihan. Itu jika tak ingin negeri yang konon gemah ripah ini semakin bangkrut dan terus-menerus dililit kemelaratan.(iy/iy)


Oleh : Djoko Su'ud Sukahar
Dikutib dari detik.com

share on facebook

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
Design by Kumpul Berita