Demi suami,perempuan-perempuan Kongo ini diperkosa.Mereka tak mau jika sang belahan jiwa harus mati dibunuh pemberontak.Namun, balasan pahitlah yang justru mereka terima.
Clementine, ibu muda itu, berdiri di depan seorang pemimpin pemberontak Kongo. Dalam hatinya berkecamuk. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria yang kini memandanginya itu.
”Mana yang akan kamu pilih? Jadi istri saya atau kamu saya perkosa?” tanya pria itu dengan suara lantang. Ibarat sebuah benteng, tubuh Clementine serasa mau rubuh.Telinganya tidak sanggup mendengar kalimat lanjutan yang terlontar dari mulut sang pemimpin. Badannya mulai limbung. Bola matanya seperti mutiara berisi air yang terkoyak.
Dia berusaha menahan tubuhnya supaya tidak jatuh karena itu artinya dia menyerah. Ibu seorang putra ini mengatur posisi berdirinya. Dia menghirup napas dalam,kemudian membuka mulut.”Saya memilih untuk diperkosa,” jawabnya, lirih.
Maka terjadilah apa yang baru dipilihnya. Di benaknya,tak ada lagi pilihan yang lebih baik. Jika dia memilih diperistri pimpinan pemberontak itu,suaminya akan dibunuh.Pikiran ini membuatnya takut.Dia tak mau putranya akan tumbuh dengan pemikiran yang membuatnya serasa dirajam.
”Saya tidak mau anak saya berpikir ayahnya tewas karena saya,”tuturnya. Dia tidak bisa berbuat banyak. Hanya berdoa seraya berharap sang suami akan mengerti maksud pilihannya.
Maka diperkosa pun jadi pilihannya. Namun, apa yang dialami berikutnya justru lebih memilukan. Suaminya malah membenci Clementine. ”Dia bilang, saya perempuan kotor,”ujarnya. Ironis.
Pria yang telah menjadi belahan jiwa Clementine selama hampir 10 tahun itu tidak mau tahu alasan pilihan yang dibuat istrinya. Bagi pria itu, sekali kotor, selamanya perempuan itu akan kotor. Pola pikir ini begitu kuat sehingga sang suami tidak mau menerima keadaan Clementine.
Dia dibutakan amarah yang sangat hebat. Sang suami tidak lagi membukakan pintu hati bagi wanita yang telah setia melayani dan mengasihinya.Dia pergi. Clementine merasa terbuang. Dia merasa tidak mampu menjadi istri yang baik atau paling tidak sesuai harapan suaminya.Wanita ini bertekad tak mau menikah lagi.
”Dia adalah lelaki yang pernah mengikat janji dengan saya di depan altar,”kenangnya. Meski dicampakkan, Clementine berjanji tetap mencintai suaminya. Clementine bukan satu-satunya perempuan Kongo yang harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kongo pernah disebut sebagai ”ibu kota pemerkosaan dunia”.
Sebutan tidak resmi ini memberi wacana baru tentang kondisi perempuan Kongo. Bisa dibayangkan, betapa banyak gadis serta istri yang terpaksa menjadi budak para lelaki yang hanya dibalut nafsu.
Kondisi memilukan yang dialami perempuan Kongo turut menjadi perhatian peneliti feminisme serta aktivis sosial sedunia. Peneliti dari program kekerasan gender di bawah Harvard Humanitarian Initiative, Jocelyn Kelly, memahami bagaimana kekerasan seksual telah menyisakan trauma.
Di balik kelantangan cara bicara dan cemooh yang tidak ada habisnya, para suami sebenarnya kecewa terhadap dirinya sendiri. ”Ada pemikiran bahwa mereka gagal melindungi istri,”papar Kelly. Kelly mengingatkan, pemberontak berada di hutan selama berbulan-bulan. ”Selama itu pula mereka tidak bertemu perempuan,” sahutnya.
Inilah bagian kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang seperti Emmanuel, mantan tentara anak yang kini berusia 22 tahun dan menjadi anggota kelompok pemberontak CNDP. Menurut dia, mereka memerkosa perempuan untuk menunjukkan amarah kepada pihak berwenang karena mengabaikan mereka.
Pandangan ini langsung ditentang aktivis perempuan Kongo dan Wakil Presiden Women’s International League for Peace and Freedom Marie-Claire Faray. Dalam pandangannya, orang seperti Emmanuel hanya mencari untung dari kerapuhan wanita.”Apa tujuan mereka? Tidak ada hubungannya dengan perempuan,”tandas dia.
Source
Clementine, ibu muda itu, berdiri di depan seorang pemimpin pemberontak Kongo. Dalam hatinya berkecamuk. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria yang kini memandanginya itu.
”Mana yang akan kamu pilih? Jadi istri saya atau kamu saya perkosa?” tanya pria itu dengan suara lantang. Ibarat sebuah benteng, tubuh Clementine serasa mau rubuh.Telinganya tidak sanggup mendengar kalimat lanjutan yang terlontar dari mulut sang pemimpin. Badannya mulai limbung. Bola matanya seperti mutiara berisi air yang terkoyak.
Dia berusaha menahan tubuhnya supaya tidak jatuh karena itu artinya dia menyerah. Ibu seorang putra ini mengatur posisi berdirinya. Dia menghirup napas dalam,kemudian membuka mulut.”Saya memilih untuk diperkosa,” jawabnya, lirih.
Maka terjadilah apa yang baru dipilihnya. Di benaknya,tak ada lagi pilihan yang lebih baik. Jika dia memilih diperistri pimpinan pemberontak itu,suaminya akan dibunuh.Pikiran ini membuatnya takut.Dia tak mau putranya akan tumbuh dengan pemikiran yang membuatnya serasa dirajam.
”Saya tidak mau anak saya berpikir ayahnya tewas karena saya,”tuturnya. Dia tidak bisa berbuat banyak. Hanya berdoa seraya berharap sang suami akan mengerti maksud pilihannya.
Maka diperkosa pun jadi pilihannya. Namun, apa yang dialami berikutnya justru lebih memilukan. Suaminya malah membenci Clementine. ”Dia bilang, saya perempuan kotor,”ujarnya. Ironis.
Pria yang telah menjadi belahan jiwa Clementine selama hampir 10 tahun itu tidak mau tahu alasan pilihan yang dibuat istrinya. Bagi pria itu, sekali kotor, selamanya perempuan itu akan kotor. Pola pikir ini begitu kuat sehingga sang suami tidak mau menerima keadaan Clementine.
Dia dibutakan amarah yang sangat hebat. Sang suami tidak lagi membukakan pintu hati bagi wanita yang telah setia melayani dan mengasihinya.Dia pergi. Clementine merasa terbuang. Dia merasa tidak mampu menjadi istri yang baik atau paling tidak sesuai harapan suaminya.Wanita ini bertekad tak mau menikah lagi.
”Dia adalah lelaki yang pernah mengikat janji dengan saya di depan altar,”kenangnya. Meski dicampakkan, Clementine berjanji tetap mencintai suaminya. Clementine bukan satu-satunya perempuan Kongo yang harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kongo pernah disebut sebagai ”ibu kota pemerkosaan dunia”.
Sebutan tidak resmi ini memberi wacana baru tentang kondisi perempuan Kongo. Bisa dibayangkan, betapa banyak gadis serta istri yang terpaksa menjadi budak para lelaki yang hanya dibalut nafsu.
Kondisi memilukan yang dialami perempuan Kongo turut menjadi perhatian peneliti feminisme serta aktivis sosial sedunia. Peneliti dari program kekerasan gender di bawah Harvard Humanitarian Initiative, Jocelyn Kelly, memahami bagaimana kekerasan seksual telah menyisakan trauma.
Di balik kelantangan cara bicara dan cemooh yang tidak ada habisnya, para suami sebenarnya kecewa terhadap dirinya sendiri. ”Ada pemikiran bahwa mereka gagal melindungi istri,”papar Kelly. Kelly mengingatkan, pemberontak berada di hutan selama berbulan-bulan. ”Selama itu pula mereka tidak bertemu perempuan,” sahutnya.
Inilah bagian kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang seperti Emmanuel, mantan tentara anak yang kini berusia 22 tahun dan menjadi anggota kelompok pemberontak CNDP. Menurut dia, mereka memerkosa perempuan untuk menunjukkan amarah kepada pihak berwenang karena mengabaikan mereka.
Pandangan ini langsung ditentang aktivis perempuan Kongo dan Wakil Presiden Women’s International League for Peace and Freedom Marie-Claire Faray. Dalam pandangannya, orang seperti Emmanuel hanya mencari untung dari kerapuhan wanita.”Apa tujuan mereka? Tidak ada hubungannya dengan perempuan,”tandas dia.
Source