Delete this element to display blogger navbar

Kematian Usamah dan Strategi Geopolitik Washington

Sebuah informasi TOP SECRET sampai di tangan Presiden AS Barrack Obama. Isinya tentu sangat penting, namun kali ini benar-benar penting: Tempat persembunyian Usamah telah diketahui.
Sesuai dengan prosedur standar Gedung Putih yang rumit, sejumlah petinggi Washington kemudian telah berkumpul dalam tempo yang sangat singkat, di antaranya Kepala Staf Gabungan, penasehat senior masalah keamanan negara, pucuk tertinggi dinas intelijen, dan Obama sendiri. Secepat kilat mereka menggelar rapat dan akhirnya Obama memerintahkan Kepala Staf Gabungan agar secepatnya mengirimkan tentaranya ke satu titik merah di luar Islamabad, Pakistan.
Kepala Staf Gabungan memanggil para Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan memberikan perintahnya. Para Kepala Staf kemudian menetapkan parameter operasi, kali ini sangat rahasia. Kemudian perintah operasi dan rencana mulai mengalir turun ke bawah, dari para jenderal kepada para kolonel lalu terus hingga para kapten.
Rencana-rencana ini cukup lengkap, yang memperinci “skema manuver” dan “konsep penembakan”—yang akan dilakukan setiap unit atau unit terpilih, peralatan apa yang akan dipakai, bagaimana jalur penggantian amunisi, satuan pendukung, jalur serang dan jalur pelarian, dan sebagainya. Perintah-perintah itu menggelinding bagaikan bola salju yang dari atas tampak sangat global dan tiba di bawah, dalam tataran praktis, sangatlah detail.
Angkatan Darat, Laut, dan Udara Amerika menggunakan energi yang cukup besar untuk perencanaan, dan prosesnya tersebut secara terus-menerus selalu saja diperbaiki selama bertahun-tahun. Sistem yang panjang dan rumit ini, namun harus diteruskan secepat kilat dengan tingkat kesalahan Zero-Tolerance, merupakan keajaiban komunikasi. Namun walau bagaimana pun, tetap ada satu kekurangan: Rencana-rencana tersebut yang sangat komplit, seringkali malah tidak berguna jika sudah berada di lapangan.
“Ungkapan yang selalu kami gunakan adalah Tidak ada rencana yang bertahan jika berhadapan dengan musuh,” tegas Kolonel Tom Kolditz, Kepala Divisi Ilmu Perilaku di Akademi Militer West Point. Sebab itulah, selain rencana yang komplit, sistematis, dan lengkap, angkatan bersenjata Amerika juga mengeluarkan Commander’s Intent (CI), yang merupakan perintah pucuk pimpinan tentara yang berisikan sasaran rencana dan keadaan akhir dari suatu operasi. Semakin ke bawah, CI semakin detail, namun tidak membatasi improvisasi para prajurit yang bertugas di lapangan.
Sebab itu, untuk tugas maha penting kali ini, dikirimlah satuan kecil tentara elit Navi SEAL yang benar-benar telah mumpuni lulus dari The Combat Maneuver Training Center dengan prestasi yang mengagumkan.
Dalam waktu yang sangat cepat, satu tim kecil pasukan Navy SEAL bergerak menyusup ke daerah luar Islamabad, Pakistan, tepatnya Abbodtabad, 35 mil di luar Islamabad, di sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Tanpa diketahui pejabat lokal negara itu. Washington berdebar menanti kabar selanjutnya. Apakah serangan kali ini akan berhasil atau mengulang kisah-kisah terdahulu yang selalu saja luput menangkap atau menghabisi musuh Amerika nomor satu sejak peristiwa 11 September 2001 tersebut. Namun sejumlah petinggi militer, CIA, termasuk Direktur CIA Leon Panetta, dan pejabat tinggi Washington lainnya menonton secara real-time operasi ini di sebuah ruang konferensi di kantor pusat CIA di Langley, Virginia.
“Ketika disebutkan operasi itu sukses, pejabat CIA di ruang konferensi bertepuk tangan cukup meriah,” ujar seorang pejabat seperti dilansir Reuters (2/5).
Operasi sukses besar. Satuan kecil Navy SEAL yang dikirim berhasil membunuh Usamah bin Ladin. Korban di pihak Amerika konon tidak ada. Hanya ada sebuah helikopter tempur, yang belum dikonfirmasi jenisnya, yang sengaja dihancurkan pasukan AS karena mengalami kegagalan mekanis. Informasi ini telah dikonfirmasi dengan lengkap. Akhirnya pada tanggal 1 Mei, Presiden Barrack Obama menyampaikan kabar ini dengan resmi. Para sekutu Amerika, kaum Zionis, dan pelayan-pelayan Washington di seluruh dunia yang hidup dari remah-remah Amerika menyambut gembira.
Dan sebaliknya, ungkapan bela sungkawa datang dari pihak-pihak yang berseberangan dengan Washington.
Pemerintah Obama tentu saja menyadari bahwa kematian Usamah bin Ladin akan menimbulkan gejolak dan juga ancaman. Sebab itu, dengan cepat Washington mengeluarkan Travel Warning ke seluruh dunia dan memperketat penjagaan seluruh kedutaan besarnya, dan juga lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan mereka.
Namun di sisi lain, kematian Usamah bin Ladin juga dengan sendirinya menghapus alasan Amerika menggelar operasi besar Perang melawan Terror yang telah digelar sejak Oktober 2001. Hal ini ditegaskan Jamaah Ikhwanul Muslimin Mesir yang mengatakan jika tentara AS harus ditarik dari Afghanistan dan Irak secepatnya karena Usamah bin Ladin telah tiada.
“Dengan kematian Usamah Bin Ladin, tidak ada lagi alasan Amerika untuk menggelar kekerasan di Afghanistan dan Irak,” tegas Issam al-Arian, petinggi jamaah Ikhwanul Muslimin kepada Reuters. “Inilah saatnya bagi Obama untuk menarik diri dari Afghanistan dan Irak dan mengakhiri pendudukan AS dan pasukan Barat di seluruh dunia, di mana negara-negara Muslim begitu lama dirugikan oleh tindak tanduk AS,” ujarnya.
Sikap resmi Washington sendiri belum ada. Tentara AS sebelumnya memang direncanakan angkat kaki dari Irak akhir tahun ini, dengan jaminan keamanan Bagdad, namun apakah perang melawan teror sendiri akan ikut diakhiri atau tidak, ini masih menjadi persoalan tersendiri. Karena perang bagi AS adalah bisnis. Tidak ada perang maka tidak ada bisnis, tidak ada perang, tidak ada lagi profit. Sebab itu, kemungkinan besar perang tetap akan berlanjut. Dimanakah panggung selanjutnya dan siapakah common-enemy berikutnya?
Seperti halnya kematian pejuang gerilya legendaris dunia lainnya semisal Che Guevara, kematian seorang Usamah bin Ladin juga menuai kontroversi. Ada yang percaya jika Usamah benar-benar telah syahid, ada pula yang meragukannya. Apalagi Washington sampai saat berita ini ditulis masih bersikukuh tidak mau merilis foto Usamah saat kematiannya, dan juga berita yang simpang-siur terkait apakah Usamah melawan saat disergap atau tidak, termasuk ritual penguburannya yang konon dilakukan di laut.
Biarlah semua itu menjadi kontroversi. Sesungguhnya tidaklah begitu penting apakah seorang Usamah masih hidup atau telah menggapai cita-cita tertinggi dalam kehidupannya: Syahid fi sabilillah.
Dengan segala kecanggihan peralatan tempurnya, memang sangat meragukan jika Amerika bersungguh-sungguh mencari Usamah hingga Washington mengumumkan kematiannya akhir April lalu, tepat 66 tahun saat Berlin yang dikuasai Nazi jatuh ke tangan Sekutu yang kemudian mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.
Jika dihitung sejak saat pertama Usamah ditetapkan sebagai buronan AS nomor wahid paska diruntuhkannya Menara Kembar WTC, 11 September 2001, sampai dengan tahun 2011, maka diperlukan waktu sepuluh tahun bagi Washington untuk memberangusnya. Kenyataanya ini sungguh menyimpan segudang teka-teki.
Banyak analis berpendapat jika dirubuhkannya Menara Kembar WTC, dikobarkannya perang melawan terorisme, yang pada akhirnya sekutu-sekutu Barat menaruh stigma buruk terorisme pada aktivis Islam di seluruh dunia, merupakan satu mata rantai dari konspirasi besar yang dilakukan elit dunia yang berkuasa dari belakang layar Washington, untuk menciptakan apa yang dinamakan sebagai Tatanan Dunia Baru (The New World Order).
Apalagi orang-orang seperti Samuel Huntington dan Francis Fukuyama memberikan semacam “pembenaran ilmiah” terhadap hal ini sehingga banyak dari para akademisi yang mengidap mental minderwardigheid complex terhadap Barat akhirnya mengiyakan dan membenarkan saja tanpa diikuti pemikiran kritis.
Salah satu hukum besi sejarah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam politik.” Demikian pula dengan setiap peristiwa politik global yang terjadi sepanjang sejarah manusia, sejak zaman Adam allaihisalam hingga akhir zaman.
Kemunculan seorang Usamah bin Ladin dengan Al-Qaidahnya pun tidak terjadi secara tiba-tiba. Sejarah Al-Qaidah dan Usamah sudah bisa dibaca di banyak media massa, sebab itu tidak akan diulangi di dalam tulisan disini secara panjang lebar.
Jihad Afghan dan CIA Connection
Tidak bisa dipungkiri jika di dalam Jihad Afghan, CIA secara diam-diam berada di belakang para Mujahidin. Amerika sangat berkepentingan mengusir hegemoni komunisme Soviet Rusia dari tanah Afghanistan yang sangat kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi.
Sebab itu CIA banyak melakukan pelatihan tempur dan mengirimkan bantuan alat tempur kepada para Mujahidin, tentunya secara covert operation. Mantan Presiden Amerika Ronald Reagan menghormati para mujahidin dan menyebut pasukan ini dengan istilah, “The moral equivalent of our founding fathers.”
Usamah bin Ladin yang merupakan anak seorang pengusaha kaya raya dari Saudi, memainkan peran penting dalam merekrut dan melatih para sukarelawan Saudi untuk mujahidin dengan dukungan diam-diam dari CIA, yang pada akhirnya memunculkan Mujahidin Taliban. Al Qaeda pada akhirnya menjadi basis perjuangan Mujahidin Arab yang didirikan pada masa itu, dengan bantuan dan senjata dari CIA.
Setelah bertahun-tahun bertempur dan akhirnya Tentara Merah terusir dari Bumi Jihad Afghan, kerjasama antara Al-Qaidah dengan CIA tidak sepenuhnya berakhir. Diam-diam Amerika kembali lagi memanfaatkan sejumlah elemen dari Al-Qaidah, untuk berperang di Balkan, antara lain dalam Jihad Bosnia dan juga di Kosovo di era 1990-an.
Dalam politik tidak ada musuh atau kawan yang abadi, yang ada semata-mata adalah kepentingan yang abadi. Dalam perkembangannya Amerika kian hari kian mencengkeramkan kukunya di Jazirah Arab.
Perkembangan ini dilihat sebagai ancaman oleh Al-Qaidah. Di lain sisi, kepentingan Amerika terhadap Al-Qaidah pun sudah tidak seperti dahulu lagi. Strategi sudah berubah. Dari strategi rangkul menjadi strategi saling berhadapan.
Namun kekuatan antara mereka tidaklah setara, sebab itu dalam situasi yang demikian tidak terjadi pertempuran yang seimbang. Yang ada adalah Amerika lebih leluasa memanfaatkan kembali elemen ini sesuai dengan kepentingan dan tujuannya.
Hegemoni Afghanistan dan Pemanfaatan Al-Qaidah
Sudah banyak sekali buku maupun literatur ilmiah yang membongkar motif utama Perang Melawan Teror yang dilancarkan Washington sesungguhnya bermotifkan penguasaan ladang-ladang minyak di Afghanistan.
Disebabkan rezim Thaliban yang berkuasa tidak mau bekerjasama dengan Washington dalam hal pengelolaan kekayaan alam yang dahsyat ini maka tidak ada jalan lain rezim Thaliban harus ditumbangkan dan diganti dengan rezim boneka yang harus tunduk dan setia tanpa syarat apa pun kepada Amerika.
Untuk hal itu Amerika memerlukan pembenaran. Akhirnya dunia terhenyak tatkala pada 11 September 2001 di pagi hari, dua buah pesawat jet komersial sengaja menabrakkan diri bagai pesawat kamikaze Dai Nippon dalam Perang Dunia II ke Menara Kembar WTC. Pemerintahan George Walker Bush dengan cepat menuding Usamah bin Ladin dengan Al-Qaidahnya berada di belakang aksi ini.
Padahal dari fakta-fakta yang ada, yang didukung bulat-bulat oleh banyak profesor dari Amerika dan Eropa sendiri, Menara Kembar WTC sesungguhnya bukan roboh ditabrak pesawat, melainkan sengaja dirobohkan dengan peledakan yang terencana. Bagi yang ingin lebih jelas tentang hal ini silakan lihat di You Tube dengan alamat: http://www.youtube.com/watch?v=hjL5U-2ke9w.
Selasa, 11 September 2001 Menara WTC hancur, Oktober 2001 Amerika dengan Koalisi Pasukan Multinasional menyerang Afghanistan. Tujuan Amerika satu: Mengganti rezim berkuasa Thaliban dan menciptakan pemerintahan boneka di Afghan.
Sebab itu, ketika menteri Taliban pertama di bulan Oktober 2001 menunjukkan bahwa mereka akan siap untuk menyerahkan bin Laden jika Washington akan memberikan bukti keterlibatannya dalam serangan 9 / 11. Namun Bush menolaknya.
Taliban kemudian menyatakan siap untuk memindahkan bin Laden ke negara netral jika AS menghentikan pemboman di Afghanistan, namun kali ini Bush pun kembali menggelengkan kepala seraya menegaskan jika AS hanya mau perubahan rezim.
 Dengan sikap seperti itu, Bush sesungguhnya menunjukkan sikap bahwa dia tidak berminat sama sekali untuk menangkap bin Laden, namun lebih berminat untuk menciptakan rezim boneka di Afghanistan, menggantikan Thaliban yang dianggapnya susah dikendalikan. Washington lebih memilih opsi untuk membiarkan Usamah berlama-lama, agar Amerika tetap memiliki dalil untuk merekonstruksi Timur Tengah seperti Afghanistan, Irak, dan juga yang lainnya dengan kedok Perang Melawan Teror, demi kepentingan nafsu imperialismenya.
Salah satu tujuan Amerika dalam hal ini telah ditegaskan oleh Zbigniew Brzezinski, mantan CIA yang pernah menjadi instruktur Usamah ketika era jihad Afghan melawan Soviet Rusia. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1997, “The Grand Chessboard”, dia menulis, bahwa dengan berakhirnya kekuasaan Soviet di wilayah tersebut, tantangan yang dihadapi imperialisme AS adalah untuk mencegah bahaya-bahaya tandingan lain, antara lain munculnya kekuatan Eurasia antagonis yang dominan." Karena ini bisa mengusik kepentingan Washington di sana.
Baik Washington maupun negara-negara raksasa Eropa sesungguhnya memiliki kepentingan yang sama terhadap wilayah yang sangat kaya dengan minyak dan gas bumi ini. Mereka adalah kaum imperialis yang sangat rakus terhadap sumber-sumber energi yang tak tergantikan ini. Untuk mengamankan jalur atau rute pipa dari kawasan ini ke barat, mereka menghadapi tiga ancaman yakni Cina, Rusia, dan Iran.
Dalam satu artikel yang dimuat The Jakarta Post (3/8/93), yang kemudian dimuat ulang Republika dengan judul “Amerika Memanfaatkan Terorisme Sebagai Instrumen Kebijakan”, Brzezinski menulis
bahwa Amerika memang memanfaatkan isu terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam. Jelaslah, kebijakan Amerika dan Barat untuk memerangi dunia Islam dengan menggunakan isu “perang melawan terorisme internasional” sudah digulirkan sejak awal 1990-an, jauh sebelum kemunculan Taliban, apalagi Al-Qaeda, tragedi WTC maupun berbagai pemboman di sejumlah kawasan di dunia Islam.
Kasus WTC jelas didalangi Washington. Tidak ada keraguan sebesar biji dzarrah sekali pun. Dan Usamah yang memang mantan kompanion CIA hanya dijadikan dalil atau legalitas langkah-langkah agresif ekspansionis Amerika dalam menjajah Timur Tengah dan juga dunia. Al-Qaidah dengan Usamah hanya dijadikan legalitas bagi Amerika untuk mendulang banyak minyak dan tentu saja dollar bagi dirinya sendiri.
Perang, di mana pun juga, adalah bisnis. Para industrialis mesin perang yang memang menduduki kursi kekuasaan di Amerika menangguk untung yang sangat besar dari apa yang dinamakan sebagai Perang Melawan Teror.
 Kekuatan Militer Sebagai Penjaga Hegemoni Washington
Saat ini Usamah bin Ladin, seperti yang sudah banyak diberitakan media massa, sudah tidak ada lagi. Namanya sudah dihapus dari daftar puncak target Amerika selama sepuluh tahun terakhir. Jenazahnya sudah dibuang secara tidak manusiawi di Laut Arab dengan kapal induk AS USS Carl Vinson pada Senin (2/5) dini hari. Walau demikian, Presiden Obama menyatakan tekadnya tetap akan memberantas sisa-sisa Al-Qaidah di seluruh dunia.
Hal ini senada dengan sikap Inggris, saudara tua dari Amerika. Pemerintah Inggris telah menegaskan tetap memerangi Taliban di Afghanistan dan tidak terpengaruh sedikit pun dengan kematian Usamah.
“Kematian Usamah bin Ladin, meskipun sebuah kemajuan positif dalam gerakan antiterorisme, tapi tidak akan mengubah strategi kami di Afghanistan,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris William Hague seperti dilansir AFP, Rabu (4/5). “Kami akan tetap menjalankan komitmen kami secara militer, diplomatik dan pembangunan untuk membangun Afghanistan yang aman dan stabil… Kami akan bekerja dengan masyarakat Afghanistan dan partner internasional, untuk memastikan bahwa Afghanistan tidak boleh menjadi tempat yang aman untuk pasukan teroris internasional seperti Al-Qaidah.”
Saat ini, Inggris masih menempatkan 9.500 pasukannya di Afghanistan. Artinya, menjadi negara kedua setelah Amerika Serikat yang serius memerangi Taliban.
Hari-hari ini kita tengah menyaksikan betapa dahsyatnya kekuatan zionis merenskontruksi Dunia Arab dan sekitarnya. Revolusi penggulingan para tiran di Dunia Arab sesungguhnya hanyalah satu perpindahan periode dari tahap Raja-Raja yang Menggigit ke tahapan Demokrasi.
Demokrasi merupakan sistem buatan Yahudi, telah dipraktekkan 400 tahun sebelum Plato lahir di Yerusalem, yang akan dijadikan karpet merah bagi kedatangan Dajjal di akhir zaman.
Bagi kita di Indonesia, mau tidak mau, selama mayoritas umat Islam masih saja bersikap taklid muqalidun kepada para pejabat dan orang-orang yang duduk di pemerintahan seperti sekarang ini, masih mau saja ditipu oleh para makelar agama atas nama demokrasi dan pluralisme, kita tinggal menunggu kehancurannya saja.
Hanya pribadi-pribadi yang kritis dan berani, yang tetap berpegang teguh pada syariat Islam yang jelas dan tegas, yang akan selamat dari kehancuran ini. Islam datang dalam keadaan terasing, dan akan pergi dalam keadaan yang juga asing. Hendak kemanakah kita, umat Islam? [rz]

share on facebook

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
Design by Kumpul Berita