Istilah cuci otak menjadi perbincangan seiring pemberitaan tentang Negara Islam Indonesia yang menghangat belakangan ini. Mekanisme ini juga disebut-sebut sebagai cara teroris merekrut anggotanya untuk melakukan tindakan tak rasional.
Dr Surjo Dharmono Sp.KJ (K), staf bagian psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menyebut mekanisme itu sebagai bagian dari ilmu kognitif terapi.
"Ilmu ini mempelajari tentang pembelajaran yang salah sehingga tercipta suatu personality atau perilaku yang salah,” katanya dalam acara Pfizer Press Circle dengan tema 'Mengelola Stres dengan Benar', FX Plaza, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Mei 2011.
Menurutnya, ada beberapa tipe manusia yang mudah terpengaruh mekanisme cuci otak. Mereka umumnya memiliki ciri kepribadian yang labil dan rentan mengalami gangguan jiwa. Sementara tipe manusia dengan kepribadian yang stabil dan dewasa, tidak akan mudah masuk dan terjerumus dengan tindakan cuci otak.
“Jika terlanjur masuk pun, mereka yang memiliki kepribadian stabil, akan mudah keluar. Namun, bagi mereka dengan kepribadian labil akan mudah terpengaruh dan sulit untuk keluar. Bahkan bisa timbul keinginan bunuh diri karena perasaan yang kacau akibat adanya paksaan dan tekanan,” ucapnya.
Profesor Dr Jalaluddin Rachmat, pakar psikologi komunikasi dari Universitas Padjajaran menambahkan, mekanisme cuci otak sering digunakan ajaran tertentu untuk memperluas jaringan.
“Caranya dengan membatasi informasi si target, tidak boleh terima informasi dari luar. Dan, biasanya ada kepatuhan mutlak pada pimpinan, sehingga jika sudah terjerat sulit keluar. Jika memaksa ingin keluar akan terancam nyawanya.“
Mereka yang menjadi target cuci otak, pergaulannya pun akan dibatasi, hanya boleh bergaul dengan komunitasnya saja. Identitas aslinya pun seringkali diganti, ditanamkan perasaan bersalah yang berlebihan. Mereka juga dibikin gila terlebih dahulu, dibuat agar merasa ketergantunga terhadap kelompoknya.
“Orang-orang yang sedang mengalami frustasi, mereka yang baru beradaptasi dengan lingkungan baru, mengalami kegelisahan, merasa terasing, akan lebih mudah dicuci otaknya. Terutama wanita, mereka lebih rentan dipengaruhi oleh kelompok-kelompok tersebut,” katanya.
Untuk kembali ke kondisi yang normal, butuh proses konseling yang sangat lama. Efek cuci otak ini pun bisa menimbulkan gangguan kejiwaan yang cukup serius.
Dr Surjo Dharmono Sp.KJ (K), staf bagian psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menyebut mekanisme itu sebagai bagian dari ilmu kognitif terapi.
"Ilmu ini mempelajari tentang pembelajaran yang salah sehingga tercipta suatu personality atau perilaku yang salah,” katanya dalam acara Pfizer Press Circle dengan tema 'Mengelola Stres dengan Benar', FX Plaza, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Mei 2011.
Menurutnya, ada beberapa tipe manusia yang mudah terpengaruh mekanisme cuci otak. Mereka umumnya memiliki ciri kepribadian yang labil dan rentan mengalami gangguan jiwa. Sementara tipe manusia dengan kepribadian yang stabil dan dewasa, tidak akan mudah masuk dan terjerumus dengan tindakan cuci otak.
“Jika terlanjur masuk pun, mereka yang memiliki kepribadian stabil, akan mudah keluar. Namun, bagi mereka dengan kepribadian labil akan mudah terpengaruh dan sulit untuk keluar. Bahkan bisa timbul keinginan bunuh diri karena perasaan yang kacau akibat adanya paksaan dan tekanan,” ucapnya.
Profesor Dr Jalaluddin Rachmat, pakar psikologi komunikasi dari Universitas Padjajaran menambahkan, mekanisme cuci otak sering digunakan ajaran tertentu untuk memperluas jaringan.
“Caranya dengan membatasi informasi si target, tidak boleh terima informasi dari luar. Dan, biasanya ada kepatuhan mutlak pada pimpinan, sehingga jika sudah terjerat sulit keluar. Jika memaksa ingin keluar akan terancam nyawanya.“
Mereka yang menjadi target cuci otak, pergaulannya pun akan dibatasi, hanya boleh bergaul dengan komunitasnya saja. Identitas aslinya pun seringkali diganti, ditanamkan perasaan bersalah yang berlebihan. Mereka juga dibikin gila terlebih dahulu, dibuat agar merasa ketergantunga terhadap kelompoknya.
“Orang-orang yang sedang mengalami frustasi, mereka yang baru beradaptasi dengan lingkungan baru, mengalami kegelisahan, merasa terasing, akan lebih mudah dicuci otaknya. Terutama wanita, mereka lebih rentan dipengaruhi oleh kelompok-kelompok tersebut,” katanya.
Untuk kembali ke kondisi yang normal, butuh proses konseling yang sangat lama. Efek cuci otak ini pun bisa menimbulkan gangguan kejiwaan yang cukup serius.