North Carolina, Seorang profesor biologi mengatakan hidup manusia kini terlalu bersih yang membuat sistem kekebalan tubuh mengalami disorientaasi. Akibatnya tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat-zat sehari-hari yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti debu rumah.
Rob Dunn, seorang profesor biologi terkemuka percaya masa depan yang sehat terletak pada apa yang dia sebut 'kembali ke alam liar tubuh kita'. Dalam buku barunya, Prof Dunn mendorong pembacanya untuk mengadopsi pendekatan radikal ke 'hipotesis kebersihan'.
Gagasan ini menunjukkan bahwa hidup kita telah menjadi terlalu bersih dan ini membuat sistem kekebalan tubuh menjadi rentan.
"Ini menyebabkan kenaikan dalam respons alergi yang serius seperti asma serta penyakit autoimun termasuk penyakit Crohn (radang usus kronis) dan rheumatoid arthritis," jelas Prof Rob Dunn dari North Carolina State University, seperti dilansir Dailymail, Selasa (26/7/2011).
Prof Dunn menunjukkan beberapa bukti penelitian yang mendukung hipotesis kebersihannya. Dalam sebuah studi terhadap 1.400 anak-anak awal tahun ini, para peneliti di Yale University AS, menemukan bayi yang menerima antibiotik memiliki risiko 70 persen lebih tinggi menderita asma pada masa kanak-kanak.
Risiko asma ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa antibiotik menghilangkan bakteri secara sangat luas, baik bakteri baik maupun bakteri jahat dalam tubuh bayi. Hal ini akhirnya dapat menghalangi sistem kekebalan tubuh bayi yang belum matang dari patokan sehat.
Menurut Prof Dunn, sebelum penggunaan antibiotik dan hidup dalam lingkungan yang sangat bersih, kekebalan tubuh manusia bisa digunakan untuk bakteri dan belajar mengabaikan ancaman yang tidak berbahaya.
Namun, ketika tubuh tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sangat higienis, sistem kekebalan tubuh dapat bereaksi secara berlebihan terhadap provokator kecil, seperti bakteri tingkat rendah yang tidak berbahaya.
"Kita harus meyakinkan tubuh kita bahwa mereka masih dalam keadaan alami seperti nenek moyang kita yang menjelajahi hutan yang banyak kuman dan tinggal di gubuk-gubuk tidak sehat. Kita dapat melakukan ini dengan memiliki cacing hidup di usus kita," jelas Prof Dunn.
Usulan memiliki cacing di usus, meski kedengarannya aneh dan menjijikkan, tapi ilmuwan di seluruh dunia mengambil ide ini sangat serius.
Argumen Profesor Dunn terinspirasi oleh Joel Weinstock, seorang peneliti medis di Tufts University, AS, yang melihat negara di mana Crohn menjadi umum di tempat-tempat yang diketahui cacingan telah menjadi langka.
Weinstock melakukan tes yang hasilnya menunjukkan bahwa ketika ia menempatkan cacing parasit di dalam sistem percernaan tikus, hal tersebut bisa menghentikan tikus mengalami penyakit iritasi usus besar.
Weinstock juga mencobanya pada 29 manusia yang menderita Crohn pada tahun 1999. Setiap orang diberi segelas telur cacing cambuk, yang biasanya hidup dalam usus babi.
Meskipun strain cacing ini tidak akan mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, tetapi Weinstock berharap hal ini bisa mendorong tubuh manusia untuk merespons kehadiran parasit ini.
Hasilnya setelah 4 minggu kemudian, semua pasien kecuali 1 orang mendapatkan hasil yang lebih baik dan 21 diantaranya berada pada tahap pemulihan. Sejak itu, penelitian lain telah menemukan bahwa ketika diobati dengan cacing, orang dengan penyakit radang usus dapat membaik dan tikus diabetes dapat kembali normal tingkat glukosa darahnya.
Satu teori bahwa selama ribuan tahun evolusi, sistem kekebalan tubuh manusia terbiasa dengan cacing. Jadi jika seseorang membuatnya keluar dari tubuh, sistem kekebalan tubuh berjalan liar karena tidak ada yang bekerja melawannya.
Teori lain adalah bahwa cacing parasit dalam usus dapat menghasilkan senyawa yang menekan sistem kekebalan tubuh. Ini mungkin membuat tubuh berevolusi untuk bergantung setidaknya pada tingkat rendah senyawa cacing yang dihasilkan untuk menjaga mereka berjalan dalam batas normal.
source