Delete this element to display blogger navbar

Langkah Mati Israel



BAYANGAN tragedi itu masih melekat di ingatan Ferry Nur. Berada di atas kapal Mavi Marmara, kapal pengangkut bantuan kemanusiaan ke Gaza, Palestina, dia menjadi saksi sekaligus korban dari serangan tentara Israel, pekan lalu.

Ferry sedang shalat berjamaah ketika kapal itu mendekati perairan Israel. Dia berada di lantai dua. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di geladak, dan imam mempercepat shalat. Setelah jamaah bubar, dia berlari ke lantai tiga.

Kapal mereka rupanya dicegat tentara Israel. “Saya dengar jelas sekali mereka menurunkan tentara di dekat nakhoda,” ujar Ferry, koordinator Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (Kispa), kepada VIVAnews, Jumat, 4 Juni 2010.

Selanjutnya, kegaduhan tambah menggila. Sleeping bag, dan tikar berterbangan. Lalu ada letusan gas air mata serta peluru timah. Sejumlah korban jatuh, dan meninggal.

Ferry sempat melihat ke sisi kiri. Ada dua kapal perang, dan tiga kapal cepat. Dia dan rekannya yang berada di sisi kapal, lalu menyemprotkan air. Mereka mencegah tentara dari kapal perang Israel memanjat Mavi Marmara. Terdengar rentetan suara tembakan.

Dua rekannya, Oktvianto Baharudin (aktivis Kispa) tertembak di tangan dan kaki. Surya Fahrial, seorang jurnalis Suara Hidayatullah ditembak di bagian dada. “Dalam tempo satu jam, kapal berhasil diambil alih mereka,” ujar Ferry.

Tentara Israel lalu memborgol relawan. “Ada yang kepalanya ditendang, dipukuli. Mereka teriak-teriak 'Sit down! Sit down!'”. Nahkoda diambilalih dan kapal dibelokkan ke Pelabuhan Ashdod.
Selama 12 jam, tangan mereka terborgol, bentakan bertubi-tubi, tak boleh ke toilet, dan tak ada makan dan minum. “Kami juga tidak diperbolehkan shalat, sehingga kami sholat sambil jongkok atau duduk dengan tangan terborgol,” Ferry mengisahkan.

Peristiwa berdarah itu terjadi pada 31 Mei lalu. Tentara Israel menyerang para peserta konvoi “Armada Kebebasan untuk Gaza" (Freedom Flotilla to Gaza) - yaitu misi tak resmi pembawa bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina di Gaza, yang diblokade Israel selama tiga tahun.
Armada terdiri dari enam kapal. Para awaknya yang tak bersenjata itu, dicegat oleh pasukan komando, dan kapal angkatan laut Israel di perairan internasional. Mereka dilarang bergerak menuju perairan Gaza.
Aksi cegat itu berujung pada insiden berdarah. Sedikitnya sembilan aktivis tewas oleh berondongan tembakan tentara Israel. ??Dunia mengecam aksi brutal Israel itu. Masyarakat internasional menilai aksi itu sebagai pembajakan di laut netral, dan kejahatan internasional. PBB dan sejumlah negara pun menyerukan penyelidikan atas insiden Flotilla.

Tapi Israel berkilah. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan para pejabatnya, menyatakan penembakan itu untuk membela diri, setelah pasukan mereka diserang begitu turun dari helikopter. Bagi Israel, pencegatan itu mereka lakukan untuk memastikan tak ada penyelundupan material yang bisa digunakan Hamas, organisasi radikal yang kini menguasai Gaza, untuk dijadikan senjata.

Seorang wartawan Israel malah menyebut selama ini Hamas menggunakan banyak bahan selundupan untuk membuat roket yang ditembakkan ke wilayah Israel. Soal kebutuhan di Gaza, seperti makanan, tak pernah diblokade. Selama ini bantuan ke Gaza harus melalui mereka, dan sudah tersalurkan. Tapi banyak yang meragukan pernyataan Israel itu, termasuk dari para pegiat yang ikut dalam armada “Freedom Flotilla to Gaza.”

Di tengah hujan kecaman terhadap Israel, berbagai upaya internasional tengah dilancarkan untuk menanggapi tragedi itu. Namun, masalah ini mungkin berbuntut panjang. Tak penyelesaian yang jelas,  konflik di Timur Tengah kian parah dan nasib penduduk Palestina di Gaza pun tidak menentu.
***
Tentu, yang menjadi pertanyaan mengapa Ferry Nur, dan para pembela Gaza dari berbagai penjuru dunia, nekad menembus blokade Israel?
Konvoi Freedom Flotilla adalah potret bangkitnya solidaritas dunia atas penderitaan rakyat Palestina di Gaza yang dizalimi Israel. Konvoi dari pelbagai bangsa, agama dan kelompok ini menunjukkan derita Palestina bukan soal agama atau politik belaka, tapi krisis kemanusiaan. Dia bukan cuma urusan orang Arab atau Palestina, tapi keprihatinan dunia.
Di Indonesia, yang terkenal garang atas sikap Israel kepada Palestina, para pegiat kemanusiaan bagi Gaza itu pernah datang berkunjung.  Suatu hari, seorang perempuan Palestina-Amerika datang berkunjung ke kantor Mer-C, lembaga kemanusiaan yang berbasis di Jakarta. Nama perempuan itu Huwaida. “Huwaida datang menewarkan kesempatan berlayar bersama ke Gaza,” ujar dr Joserizal Jurnalis, pengurus Mer-C Indonesia.

Dari situ koordinasi pun berlanjut. “Awalnya kami ingin membeli kapal, namun dana yang terkumpul dari berbagai iklan dan promosi tidak cukup,” ujar Joserizal. Karena keterbatasan dana, akhirnya mereka memutuskan menyewa kapal Mavi Marmara. Dari Indonesia, ada 12 relawan yang ikut. Latar belakang mereka beragam. Ada dokter, insinyur, jurnalis, ahli pendidikan dan lain-lain.

Misi ini, kata Joserizal, jelas misi sipil, dan bukan militer. Ada beragam bangsa dan agama yang turut bergabung. Mereka disatukan rasa kemanusiaan karena blokade Israel bertahun-tahun di Gaza membatasi pasokan makanan, listrik, obat-obatan. “Warga Palestina yang mencari ikan hanya boleh batas dua mil, lebih dari itu mereka akan ditembaki Israel,” kata Joserizal.

Di samping berupaya membuka blokade Israel dan memberi bantuan logistik, para relawan Indonesia memiliki tujuan lain. Mer-C, misalnya, ingin membuka rumah sakit.
Sementara, lembaga lain dari Indonesia, seperti Sahabat Al Aqsha pun punya tujuan tak kalah mulia. “Kami ingin beri bantuan untuk anak yatim dari sektor pendidikan. Kami pun fokus ke pembangunan sumber air, listrik biogas dan member santunan anak yatim,” kata Amirul, pengurus Sahabat Al Aqsha.

***
Kebijakan Israel atas Gaza memang menggemaskan. Tak kurang, International Crisis Group (ICG) melihat selama bertahun-tahun, dunia telah bersabar dengan kebijakan Israel yang mengucilkan  Gaza, dengan harapan bisa melemahkan Hamas.
Kebijakan itu, kata ICG, bukan cuma didukung Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lain. Bahkan Mesir, dan dibiarkan oleh negara-negara Arab lain, yang kebetulan tak sepaham dengan militansi politik Hamas. Penutupan Perlintasan Rafah sejak 2007 menjadi buktinya.
Masalahnya, pengucilan atas Gaza itu tak bisa melucuti kekuatan Hamas di sana. Sebaliknya, pengucilan berupa blokade dan penutupan perbatasan Gaza oleh Israel dan Mesir itu justru membuat rakyat setempat kian menderita.
Bahan-bahan kebutuhan pokok sulit didapat di Gaza. Aliran listrik dan air bersih padam. Pokoknya Gaza dijadikan seperti “Kota Mati” tapi masih dihuni oleh orang-orang yang setengah mati untuk bertahan hidup.
Pada titik inilah, kebijakan pengucilan itu mendatangkan bumerang , sekaligus kemarahan dunia. Maksudnya memperlemah Hamas, tapi yang jadi korban adalah anak-anak dan perempuan yang tak berdaya. Konflik politik yang kian buruk, menyebabkan krisis kemanusiaan. Karena alasan tak tahan melihat penduduk Palestina menderita, inisiatif para pegiat kemanusiaan pun muncul. Konvoi Freedom Flotilla ke Gaza salah satunya.
“Serangan atas konvoi Flotilla itu tak lain adalah suatu gejala dari suatu pendekatan yang secara tersirat dibiarkan banyak pihak,” kata Robert Malley, pengamat Timur Tengah dari International Crisis Group (ICG). “Ini cukup jelas menggambarkan perlunya suatu perubahan kebijakan atas Gaza,” kata Malley dalam penjelasannya di laman ICG.
Maka, seperti yang direkomendasikan ICG, kebijakan atas Gaza perlu ditinjau kembali secara menyeluruh. Amerika Serikat, Uni Eropa dan pihak Kuartet harus kompak menyuarakan pencabutan permanen blokade atas Gaza.
Tuntutan tidak saja disuarakan kepada Israel, namun juga kepada Mesir – yang sementara ini membuka kembali perbatasan dengan Gaza setelah insiden Flotilla.
Penyaluran kembali bantuan kemanusiaan ke Gaza patut disambut baik. Tapi tak ada jaminan kalau pengucilan itu tak akan berlaku kembali. Gaza memang harus diawasi, tapi tak perlu sampai memblokade jalur perdagangan ke dan dari Gaza.
Bila Israel dan Palestina masih belum saling percaya, maka perlu dilibatkan pasukan internasional untuk memastikan keamanan di Gaza.  Tapi, konflik sepertinya belum akan selesai. Israel bisa jadi hanya mengulang langkah matinya terhadap Gaza.
Sementara armada bantuan kemanusiaan, para relawan yang bertaruh nyawa demi Gaza, akan terus mengalir. Seperti disebut aktivis Mer-C, dr. Joserizal: “Kita tidak akan mundur, dan akan menunjukkan Israel adalah musuh dunia dan musuh kemanusiaan”.


vivanews

share on facebook

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
Design by Kumpul Berita